Marquee Tag - http://www.marqueetextlive.com

Sabtu, 28 Desember 2013

(fanfic) The Untold Story


The Just King – (Edmund Pevensie)

 

“But beware, you are all about to be tested”

Tes. Dia selalu tidak suka mendengar kata itu. Buakn karena masalah kemampuan otak, dia cukup bangga dengan daya analisisnya dan masihbisa mempertahankan posisi 5 besar di sekolah. Hanya saja, tumbuh besar di keluarga sebagai anak ketiga dan anak laki-laki kedua, kata itu menjadi suatu hal yang bisa membuatnya tertekan.

Kakaknya, merupakan sosok laki-laki ideal yang disukai semua orang, kakak perempuannya juga sama sementara adik perempuannya tipe anak manis yang disayangi semua orang. Dia berbeda dengan kakaknya, sifatnya cenderung menjadikannya sebagai black sheep dalam keluarga. Saat semua saudaranya tersenyum sopan pada kalimat yang sama sekali tidak lucu, dia merupakan satu-satunya orang yang melemparkan fakta itu pada si pembicara.

“To beat the darknest out there you must fight the darknest inside yourself”

Dia tahu ketakutan terbesarnya dan sadar bahwa perasaan itu selalu berdiam diri jauh di dasar hatinya. Bertahun-tahun yang lalu, atau sekitar dua atau tiga tahun waktu di bumi, dia melakukan kesalahan fatal. Kesalahan yang sampai saat ini tidak bisa dilupakannya. Meski dia berusaha seperti apapun, kesalahannya saat itu masih jelas tergambar di balik matanya.


Meskipun dia juga menjadikan kesalahan itu sebagai titik dasar dan pengingat dalam segala tindakan dan keputusannya saat menjadi raja, namun itu tidak menghapus perasaan bersalah dari dalam hatinya pada ketiga saudaranya. Sebutan raja yang adil tidak membuatnya lupa pada sebutan sang pengkhianat yang pernah di sandangnya.


Perbedaan waktu tidak membantu sedikitpun, hanya semakin menambah ujian baginya untuk berfikir jernih. Menjadi raja membantunya untuk mengalihkan perhatian dengan memperhatikan tugas-tugasnya, tapi saat kembali menjadi seorang anak remaja, dorongan itu kembali berusaha muncul ke permukaan. Kegelapan itu terus menghantuinya, satu kesalahan fatal yang tidak akan pernah bisa dia hapus dari dasar hatinya.


“Edmund, come with me. Join me”

Suara itu terdengar kembali di telinganya, masih sejelas dulu, saat pertama kali dia datang ke dunia ini, dunia yang berbeda dengan dunia tempat dia lahir. Dia bukan anak yang bodoh, dia bisa membedakan dan selalu mempertanyakan apakah seseorang bisa dipercaya atau tidak, terlebih jika menyangkut keselamatan hidup. Tapi sepertinya otak jeniusnya tidak mau bekerja jika yang ditawarkan didepannya sebagai harga pengganti sangat-sangat menguntungkan.

Dia tahu pasti kelemahannya dan berusaha keras menekannya. Jika masalahnya adalah kelemahan dalam hal kekuatan fisik itu akan lebih mudah ditangani. Kenyataannya, ketrampilan berperangnya dengan menggunakan pedang sangat bagus, mungkin terbaik di dunia ini, mengingat dia bisa mahir menggunakan 2 pedang bersamaan sementara kakaknya tidak. Bahkan dia juga lebih trampil menggunakan busur panah di banding kakak perempuannya yang memiliki busur pribadi.

Kepercayaannya pada sang singa sudah bertambah besar jika dibandingkan saat pertama kali dia menginjakkan kaki di dunia ini, meski belum bisa menandingi sang adik. Dia tahu, berkat itulah selama ini dia berhasil menekan sifat ‘pembuktian diri’ yang selalu menjadi tekanan. Namun di saat-saat tertentu, ketika penawaran menjadi cukup menggiurkan dan kegelapan hatinya muncul ke permukaan, kenangan itu selalu hadir menghantuinya. Perasaan bersalah yang selalu membuat dadanya terasa sesak kembali menghadirkan suara masa lalu yang ingin dikuburnya.

“Edmund, what you want to prove? I can make you my King”

Sering dikatakan bahwa pengalaman adalah sebuah pelajaran yang berharga. Dia membuktikan kebenarannya, dari tangan pertama. Tetap saja, seberharga apapun itu ada kalanya saat kalah dari tekanan. Terutama dari tekanan yang membuatnya berfikir bahwa dia selalu harus di bawah baying-bayang orang lain, tidak merasa beruntung dan merasa ketidakadilan sedang terjadi pada hidupnya.

Semua itu selalu hadir dan bertarung dengan prinsip perbaikan dirinya agar tidak mengulang kesalahan yang sama. Saat masih kecil, dia terbiasa mengatakan apa yang ada di kepalanya, tidak peduli jika membuat masalah semakin runyam. Ketika dewasa, dia lebih menyimpan sendiri apa yang ada di kepalanya dan mengatakannya setelah mengolahnya berkali-kali di dalam. Sementara dia yang sekarang, tercabik antara ingin berteriak dan sadar jika dia tidak boleh sembarangan berteriak. Sekali lagi, pengaruh perbedaan waktu dalam pertumbuhan yang berjalan mundur, fisik tidak begitu masalah, tapi emosi, tidak mudah. Terlebih baginya yang memiliki masalah hati yang tidak akan pernah selesai sampai kapanpun.

Hanya demi harta dan kekuasaan, demi pembuktian diri yang sebenarnya tidak dia perlukan. Dia berbalik memunggungi saudaranya. Tidak peduli sebanyak apapun hal yang dia lakukan untuk menebus kesalahan itu, dia sadar bahwa jauh di dasar hatinya tidak hanya perasaan bersalah, tapi juga keinginan yang mendasari semua itu juga masih setia menetap di sana. Menunggu saat yang tepat untuk keluar lagi. Dia hanya bisa berharap jika saat itu tidak akan pernah datang.

“Edmund”

Atau, mungkin jika saat itu datang. Dia akan siap kali ini. Karena dia sadar, dia memiliki sesuatu yang lebih layak diperjuangakan daripada sekedar kebanggan diri, harta dan kekuasaan. Sesuatu yang selalu berada di sampingnya, yang selalu mempercayainya dan menerimanya tidak peduli sebesar apapun kesalahan yang telah diperbuat. 

Dia menoleh ke arah suara yang memanggilnya dan menjumpai adiknya berdiri di sana. Adik satu-satunya yang dulu selalu dia antagoniskan namun selalu menjadi orang yang pertama kali akan membuka tangannya lebar-lebar dan menyambutnya dengan senyuman. Orang yang, dia bertekat dalam hati, akan selalu dia lindungi. Kedua kakaknya tidak ada di samping mereka kali ini, hanya mereka berdua dan dia juga sudah berjanji pada kedua kakaknya untuk menjaga adik mereka tersayang. Adik yang paling murni hatinya di antara mereka berempat.

Dia tidak tahu apa yang akan mereka hadapi, tapi satu hal dia yakin, mereka akan bisa melewatinya, seperti yang selama ini, dengan kerja sama dan kepercayaan maka apapun masalah yang dating dia akan berusaha mengatasinya. Karena dia memiliki senjata yang lebih hebat dari apapun didunia manapun. 

Sembari menghela nafas dia menetapkan hati dan membuka mulut, menyapa suara yang selalu konstan berada di kehidupannya sejak dia berusia 2 tahun. 

“Lucy”

Memperhatikan adiknya yang tidak terlihat seperti biasa, hanya satu hal yang terlintas, masalah, dan cukup menganggu jika adiknya sampai berwajah muram. Menurunkan dan melonggarkan cengkramannya pada pedang yang sempat di sambarnya. Di sampingnya sang raja yang bertahta sekarang ikut bergabung dengan mereka di alam sadar.

Memperhatikan sudah menjadi kebiasaannya. Dia hanya tidak mengatakannya jika dia memperhatikan. Dia lebih suka berdiam diri dan melebur sebagai bayangan, salah satu dari usaha perbaikan dirinya. Jika pemicu masalahnya adalah sorot cahaya di tengah panggung, masa sebisa mungkin dia akan berusaha menghindarinya. Dia juga tidak begitu baik dalam hal mengekspresikan perasaan, karena itu hal terbaik yang bisa dilakukannya hanyalah diam dan memperhatikan.

Menunggu sang adik mengatakan alasannya berkunjung tengah malam, dia hanya duduk dan memmandang adiknya yang berjalan mendekat ke arahnya tanpa bertanya apapun. Dia tahu bahwa adiknya paham, satu kata darinya sudah melebihi cukup sebagai pemicu pertanyaan lain tak terucap, terlebih jika kata itu menyebut nama sang adik. 

“I can’t sleep”

Ya, katakan hal itu padanya. Dibandingkan siapapun, dialah yang paling tahu alasan dibaliknya. Karena dia selalu mengalaminya, setiap malam, terutama ketika kegelapan mulai menyebar dalam hatinya, berusaha meruak muncul ke permukaan. Alasan yang selalu sama.

“Let me guess, bad dreams”
 

-end- 

Tidak ada komentar:

Harry Potter Magical Wand