Marquee Tag - http://www.marqueetextlive.com

Senin, 30 Desember 2013

(fanfic) The Untold Story

The Mischief God - (Loki)


“No, Loki”

Menjadi anak kedua tidaklah mudah. Terlebih lagi jika sang kakak menyebalkan. Baiklah sebagian besar kakak memang menyebalkan. Sekali lagi, terlebih jika sang kakak mempunyai kepercayaan diri yang berlebihan dan semua orang menganggapnya hebat. Dan sang raja memilih sang kakak sebagai pengganti tanpa mempertimbangkan kemampuan dirinya dan sang kakak dengan adil, hanya karena dia anak pertama. Bukan, karena dia memang satu-satunya anak sang raja.

Menjadi trickster bukanlah tujuan awalnya. Dia hanya suka melakukannya karena dengan melakukannya dia akan mendapatkan perhatian orang-orang di sekelilingnya. Orang-orang yang selalu hanya memperhatikan kakaknya dan melupakan keberadaannya. Namun entah sejak kapan malah menjadi kebiasaanya. Dan dia cukup menyukainya, karena dia mendapatkannya dari sang Ibu, satu-satunya orang yang masih ingat bahwa dia ada.


Bukan berarti dia terlupakan begitu saja. Orang-orang tahu pasti dengan keberadaannya, mereka hanya tidak mau mendengarkan dan selalu mengacuhkannya. Teman-temannya tidak akan melihatnya jika dia tidak melakukan sesuatu, sang kakak yang semakin berjalannya waktu selalu memotong dan mengacuhkan apapun perkataannya. Bersikap jika dia adalah salah satu dari teman-teman yang setia mengikutinya, bukan adik yang seharusnya berjalan sejajar di sampingnya.


Perasaan yang dipendamnya semakin lama semakin membuatnya marah dan hanya dengan melakukan beberapa keisengan-lah dia sedikit terhibur, berpikir jika mereka pantas mendapatkannya dan sebagai salah satu usaha balas dendamnya. Meskipun hal itu membuatnya semakin menjadi outcast dimanapun dia berada. Yah, bukan salahnya jika tidak banyak yang bisa memahami rasa humornya.

Hanya saja, mengetahui bahwa dia benar-benar merupakan outcast bukanlah hal yang bisa berakhir dengan baik. Kenyataan tidak seperti sebuah cerita dongeng klasik, dimana hanya dengan kalimat ‘kamu tetap anakku tidak peduli siapapun kamu, karena akulah yang membesarkanmu’. Terlebih jika mengetahui alasan mengapa dia bisa sampai di tempat yang bukan merupakan bangsanya dan tumbuh besar sebagai bayangan yang tidak pernah dihormati. 

Halo, dia tetaplah anak dari sang raja, yang berarti meski dia anak kedua, atau bukan sama sekali setelah tahu ha yang sebenarnya, tetap saja seharusnya dia seorang pangeran, salah satu dari 2 penerus tahta yang harus, atau paling tidak didengarkan perkataannya.

Takdirnya adalah menjadi raja. Pendapatnya itu tidaklah salah, karena pertama, meski anak kedua, dia masih punya separuh kemungkinan mendapat posisi raja. Dan kedua, jika dia tidak terdampar dan tetap berada di lingkungan bangsanyapun, maka dia tetap akan menjadi raja, karena dia adalah satu-satunya pewaris tahta. Hey, yang manapun itu dia tetap mempunyai takdir sebagai raja.

Hanya saja, kembali ke masalah awal, sang kakak yang terpilih dengan tidak adil membuatnya kesal. Dan bukan salahnya jika sang kakak menghilang, meninggalkan posisi kosong yang bisa di ambilnya. Bukan salahnya juga kalau dia tidak menyia-nyiakan kesempatan.

Tapi sekali lagi, cerita klasik lama berulang kembali. Tokoh utama selalu mendapat apa yang diinginkan dan tokoh sampingan hanya akan di letakkan di samping. Disaat semua sibuk memikirkan nasib sang tokoh utama, tidak adakah yang bisa mencoba untuk memahami posisinya. Menjadi bayangan selalu menimbulkan efek samping, diantaranya perasaan marah, rendah diri, terlupakan, dan yang paling parah, jika ada kesalahan maka dia akan menjadi orang pertama yang ditunjuk sebagai sang pelaku.

Kata lelah tidak sepenuhnya bisa menggambarkan apa yang bergolak dalam hatinya. Dan kondisinya sudah benar-benar melampaui kata itu. Apapun yang dilakukan, dikatakan bahkan dipikirkannya selalu saja tidak tepat di mata orang lain. Berusaha seperti apapun agar sang ayah melihatnyapun hanya menghasilkan sebuah kesalahan besar di mata sang ayah. Bahkan sang kakak tiba-tiba menjadi peran penderita dalam ceritanya, cerita yang seharusnya dia-lah sang korban dari kenyataan.

Kalau dia tidak bisa menjadi pelindung maka dia akan menghancurkan, baiklah, bukan menghancurkan, tapi mengacaukan segalanya. Dia memilih untuk menjadi Antagonis daripada harus tunduk pada sang tokoh utama. Setidaknya dia bisa melakukan apa yang dia sukai dengan bebas. Menjadi dirinya sendiri, tidak lagi memikirkan dan mencari persetujuan demi pengakuan eksistensi untuk dirinya.

Memilih jalannya sendiri, dia melepaskan tangannya. Melepaskan diri dari semua hal yang selama ini bersamanya. 

“Loki, no!!”


-fin- 
 

Minggu, 29 Desember 2013

(fanfic) The Untold Story


The Only Human – (Stiles Stilinski)




“So, they told you it was me?”

Dia hanya berdiri di sana, di sebelah sahabat baiknya, memandang kosong kearah dua orang yang berada di depannya. Seorang adalah kenalan yang baru saja mereka kenal akhir-akhir ini, tapi beberapa kali saling membantu untuk bertahan hidup, seorang lagi adalah guru bahasa di sekolahnya, yang sedang sibuk meyatakan diri tidak bersalah. Bayangan ayahnya silih berganti muncul di dalam kepalanya.

Sejak kecil dia merupakan anak yang ceria, mungkin dikarenakan sifat hiperaktifnya, ya dia mempunyai penyakit ADHD, sehingga membuatnya susah untuk diam walau hanya sebentar. Dia selalu bertindak tanpa pikir panjang setelah mendapat ide, daya tangkap dan analisanya yang cukup baik membantunya membuat keputusan yang tepat sehingga jarang melakukan kesalahan. Meski terkadang dia juga cukup ceroboh untuk hal-hal kecil dan tersandung benda-benda di sekitarnya. 

Tumbuh besar di bawah kasih sayang kedua orang tua membuatnya bersyukur jika membandingkan dengan kehidupan sahabatnya yang hanya bersama orang tua tunggal. Walaupun hanya 10 tahun, tapi itu sudah cukup baginya untuk bisa memahami dan menghargai arti keberadaan seseorang. Ibunyalah yang mengajarkan semua itu. Terlebih dengan cara yang bahkan tidak akan terlupakan sampai kapanpun.

“Mom, died”

Dia tahu sejak lama jika ibunya sakit, dia juga tahu ayahnya memikirkan sesuatu, dia hanya tidak tahu apa itu. Belajar dari pengalaman, ada 2 tanggapan yang bisa di dapatnya dari bertanya, antara mendapatkan jawaban yang sebenarnya atau bentakan untuk diam. Dari kedua orang tuanya dia selalu mendapatkan respon yang pertama, tapi dari beberapa yang lain, kebanyakan yang kedualah yang didapatnya. Terlebih jika dia bertanya pada seseorang yang mempunyai wajah ‘tertentu’.

Ketika ibunya mulai menginap di rumah sakit, ayahnya sering memasang wajah ‘tertentu’ itu, meski jika dia nekat bertanya ayahnya pasti akan tersenyum dan menjawab dengan halus. Dia belajar lagi hal lain, antara jawaban yang sebenarnya atau sebuah kebohongan. 

Pendapat umum mengatakan sekolah adalah tempat untuk belajar segala hal, tapi kedua orangtunya sering mengatakan, belajar tidak hanya bisa di dapat di sekolah, dia bias mendapatkannya dimanapun asalkan dia mau melihat, mendengar dan merasakan. Itulah yang dilakukannya, sebagai anak seorang polisi, dia sering melihat berbagai macam kenyataan dan ekpresi serta luapan emosi manusia. Di balik sikapnya yang sering bertanya, dia juga sering berpikir dan mengolah semua apa yang dia lihat dan jawaban atau tidak ada jawaban yang di dapatnya. Dia belajar bahwa manusia bisa membuat sebuah ekspresi yang sama sekali bertentangan dengan apa yang ada di dalam hatinya.

Pelajaran demi pelajaran di dapatnya seiring bertambahnya usia, setiap hari dia mendapat satu hal lain, dan tempatnya berada membuatnya lebih bisa memahami apa yang dinamakan ‘kehidupan’ daripada apa yang bisa dipelajari di sekolah. Sejak usia 6 tahun, dia lebih sering berada di rumah sakit atau di kantor polisi daripada di rumah dan sekolah. 4 tahun merupakan waktu yang cukup panjang baginya untuk memahami dan membentuk sebuah karakter. Karena itu saat berusia 10 tahun dan salah satu orang tuannya meninggalkannya untuk selamanya, dia sudah paham, bahwa dia harus menjaga apa yang sangat berarti baginya karena suatu saat hal itu akan hilang dari jangkauan, cepat atau lambat, terduga atau tidak. 

“I miss your mom”

Saat kematian Ibunya, dia belajar bahwa ada hal yang perlu dikatakan dan ada hal yang lebih baik di simpan demi kedamaian bersama. Dan entah sejak kapan dia terbiasa untuk memilah hal-hal itu dan memasang sebuah garis batas bagi dirinya sendiri. Dia juga menyadari ada kalanya seseorang tidak ingin mendengar dan berharap untuk mendengar hal lain. Belajar bahwa sampai di suatu titik hal lain itu dapat memberikan sebuah kebaikan daripada kenyataan yang sebenarnya. Maka dia mulai mempelajarinya, dia mulai mengembangkan sebuah kemampuan lain dalam dirinya. Kemampuan untuk mengatakan hal yang lain, kemampuan untuk berbohong. Dan saat sahabatnya mendapat perubahan yang tidak terduga, kemampuan itu berkembang semakin pesat.  

Sejujurnya, kemampuan ini tidak begitu dia sukai, karena meski dapat membawa senyum di wajah seseorang namun juga memberi sebuah tekanan dalam hatinya, tekanan yang bahkan lebih berat dibandingkan dengan kemampuan saat dia mengetahui bahwa suatu hal lebih baik dibiarkan tenggelam di dasar yang paling dalam.

Pembicaraan mengenai Ibunya tidak pernah muncul di permukaan, karena dia tahu, bukan hanya bagi ayahnya, bahkan bagi dirinya sendiri hal itu lebih baik terkunci rapat dalam kotak harta. Namun berbohong pada ayahnya memunculkan konflik lain dalam hatinya yang lebih besar daripada hal itu. Berulang kali dia mengatakan pada dirinya sendiri bahwa berbohong merupakan cara yang terbaik. Bahwa itu merupakan satu-satunya cara untuk menjaga keselamatan tidak hanya ayahnya tapi seluruh kota, terutama ayahnya.

Hanya saja jauh di dasar hatinya dia terus mendengar sebuah suara yang berteriak bahwa suatu saat kebohongan serapi apapun adalah sebuah kebohongan. Itu berarti bahwa tidak ajaminan ayahnya akan selamat meski dia tetap diam, terlebih dengan pekerjaan ayahnya yang jelas-jelas menempatkannya di garis depan bahaya. Suara itu terus menerus menganggunya, berulang kali dia meredam, setiap kali juga suara itu kembali terdengar. Secara logika, akan lebih baik jika ayahnya mengetahui hal yang sebenarnya. Tapi dia tidak berhak mengatakannya, karena hal itu menyangkut orang lain, termasuk sahabatnya. Dan dia sudah belajar untuk tidak mengatakan apa yang bukan miliknya.

Beralih pada pilihan lain, dia berusaha untuk menjadi kuat. Setidaknya jika dia tidak bisa mengatakan sesuatu dia bisa berbuat sesuatu. Kekuatan fisik jelas bukan pilihan pertamanya, apalagi jika dibandingkan dengan kenyataan yang selama ini tidak dia sadari. Dia menetapkan diri pada keahliannya yang lain, menggunakan otak. 

Namun itupun belum cukup. Berkali-kali dia merasa ketakutan akan kehilangan hal lain yang berharga. Satu hal sudah diambil darinya, dia tidak akan melepaskan yang lain, tidak jika dia bisa mencegahnya. Berusaha sekuat mungkin, bertekat untuk menjadi kuat dia semakin mengubur sisi dirinya yang lain. Sisi yang ceria yang semakin lama semakin hilang tergantikan oleh pandangan sarkatis pada kehidupan yang dilihatnya. Dia semakin menyadari bahwa kehidupan itu keras.

“I’m proud and happy for you”

Dia tidak pernah menangis, dalam hidupnya, dia tidak pernah sekalipun menangis. Saat Ibunya pergi. Dia hanya duduk diam di koridor menyandarkan kepalanya pada kepalan tangan dan menunggu sang ayah datang. Hari hari setelah kematian Ibunya dimana sang ayah menenggelamkan diri pada pekerjaan dan alcohol setiap malam, ketika berpikir bahwa dia sudah tidur, yang pada kenyataannya dia berusaha sekuat mungkin untuk mengatasi penyakit baru yang dideritanya, Panic Attack, membuatnya lupa untuk menangis.

Ketika dia merasa putus asa saat Kanima menyerang kantor polisi dan hanya bisa terbaring di lantai, dia menekan amarahnya dan memfokuskan diri untuk mencoba bergerak agar setidaknya bisa melihat dan memastikan bahwa ayahnya baik-baik saja. Di antara keributan dan kecemasan yang memuncak, dia tidak punya waktu untuk menangis.

Begitu juga saat sang ayah memeluknya dengan perasaan lega ketika dia menjadi penyampai pesan dari sang pemburu untuk yang diburu. Sepanjang perjalanan dia terlalu sibuk memikirkan alasan yang tepat untuk menyamarkan jejaknya sehingga menangis sama sekali tidak terlintas dipikirannya. 

Saat teman yang dikenalnya sejak kecil terbunuh. Saat sahabatnya, satu-satunya teman yang dia miliki, saudara yang tidak pernah dia miliki, mencoba meninggalkan dunia karena merasa bersalah dan putus asa, dia memutar otak, mencari cara untuk meyakinkan sang sahabat untuk bertahan, membujuk agar sekali lagi mereka berjuang bersama. Bertekat akan ikut pergi bersama membuatnya sedikitpun tidak merasakan keinginan untuk menangis.

Dia sudah belajar bahwa menangis tidak akan menyelesaikan masalah, bahwa menangis hanya akan membuat orang yang peduli padanya sedih, bahwa menangis hanya akan membuat ayahnya khawatir. Karena itulah, dia selalu berusaha tersenyum.

“I’m listening!!”

Teriakan ayahnya kembali terngiang di telinga. Sejak kecil ayahnya tidak pernah berteriak padanya. Ketika semua orang lelah mendengar pertanyaan yang selalu dilontarkannya, ayahnya hanya tersenyum dan menjawab dengan sabar. Saat membangunkannya untuk pergi ke sekolah agar tidak terlambat, melihatnya berkeliaran di TKP dan mendengarkan radio polisi, ikut campur dalam kasus-kasus yang di tangani ayahnya, atau sekedar memaksa ayahnya dengan makanan sehat. Bahkan saat membuat ayahnya kehilangan lencana sheriff-pun, sang ayah tetap tidak pernah menaikkan nada suaranya.

“You just don’t believe. Mom will believe me”

Dia tidak pernah membayangkan bahwa pertengakaran pertama dengan ayahnya adalah hal terakhir yang dilakukannya sebelum akan kehilangannya. Dia marah pada dirinya sendiri yang tidak meminta maaf setelah mengucapkan kalimat yang dia tahu sangat menyakitkan bagi ayahnya. Dia menyesal selama ini hanya diam dan tidak mengatakan kebenaran pada ayahnya sehingga ayahnya berpikir bahwa apapun yang ada di belakang kasus adalah hanya seorang pembunuh psikopat yang kejam.

Dia pernah kehilangan seseorang yang berharga dan dia tidak ingin hal itu terjadi untuk kedua kalinya. Dia susah payah berjuang saat sang Ibu di ambil dari sisinya, dengan bantuan dan demi ayahnya dia berhasil melewati semua kesulitan. Apapun itu dia sanggup bertahan karena dia tahu sang ayah akan selalu berada di belakangnya, siap menangkapnya jika dia hendak terjatuh. Tapi siapa yang akan berada di sisinya jika sang ayahpun di ambil darinya.

“Dad?!”

Dunianya seolah berhenti saat dia menyadari ayahnya menghilang. Baginya ayahnya adalah segalanya, kunci dari dunianya yang masih berputar saat ini. Kehilangan Ibu membuatnya mengulang kembali dan berusaha mengingat bagaimana caranya untuk bernafas. Karena ayahnyalah dia berhasil melakukannya. Jika sang ayah juga menghilang, dia tidak tahu lagi cara untuk bernafas, tidak akan ada yang mengajarkannya, tidak ada apapun.

“We told, you are the one killing people”

Suara sahabatnya terdengar stabil, perlahan membawa kesadarannya yang sempat hilang kembali ke waktu saat ini. Dia masih berdiri di sana, di samping sahabatnya, memandang lurus ke depan. Dan tiba-tiba saja berbagai perasaan menghantamnya dengan keras. Perasaan yang selama ini ditekannya mengalir keluar secara bersamaan. Bersalah, takut, marah, putus asa, membuat dadanya terasa sesak dan akhirnya dia menyerah. Dia menyerah kalah dan membiarkan pertahanan yang dibangunnya selama bertahun-tahun hancur berantakan. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, air mengalir turun dari matanya.

“Where’s my Dad?”

-Fin-

Sabtu, 28 Desember 2013

(fanfic) The Untold Story


The Just King – (Edmund Pevensie)

 

“But beware, you are all about to be tested”

Tes. Dia selalu tidak suka mendengar kata itu. Buakn karena masalah kemampuan otak, dia cukup bangga dengan daya analisisnya dan masihbisa mempertahankan posisi 5 besar di sekolah. Hanya saja, tumbuh besar di keluarga sebagai anak ketiga dan anak laki-laki kedua, kata itu menjadi suatu hal yang bisa membuatnya tertekan.

Kakaknya, merupakan sosok laki-laki ideal yang disukai semua orang, kakak perempuannya juga sama sementara adik perempuannya tipe anak manis yang disayangi semua orang. Dia berbeda dengan kakaknya, sifatnya cenderung menjadikannya sebagai black sheep dalam keluarga. Saat semua saudaranya tersenyum sopan pada kalimat yang sama sekali tidak lucu, dia merupakan satu-satunya orang yang melemparkan fakta itu pada si pembicara.

“To beat the darknest out there you must fight the darknest inside yourself”

Dia tahu ketakutan terbesarnya dan sadar bahwa perasaan itu selalu berdiam diri jauh di dasar hatinya. Bertahun-tahun yang lalu, atau sekitar dua atau tiga tahun waktu di bumi, dia melakukan kesalahan fatal. Kesalahan yang sampai saat ini tidak bisa dilupakannya. Meski dia berusaha seperti apapun, kesalahannya saat itu masih jelas tergambar di balik matanya.


Meskipun dia juga menjadikan kesalahan itu sebagai titik dasar dan pengingat dalam segala tindakan dan keputusannya saat menjadi raja, namun itu tidak menghapus perasaan bersalah dari dalam hatinya pada ketiga saudaranya. Sebutan raja yang adil tidak membuatnya lupa pada sebutan sang pengkhianat yang pernah di sandangnya.


Perbedaan waktu tidak membantu sedikitpun, hanya semakin menambah ujian baginya untuk berfikir jernih. Menjadi raja membantunya untuk mengalihkan perhatian dengan memperhatikan tugas-tugasnya, tapi saat kembali menjadi seorang anak remaja, dorongan itu kembali berusaha muncul ke permukaan. Kegelapan itu terus menghantuinya, satu kesalahan fatal yang tidak akan pernah bisa dia hapus dari dasar hatinya.


“Edmund, come with me. Join me”

Suara itu terdengar kembali di telinganya, masih sejelas dulu, saat pertama kali dia datang ke dunia ini, dunia yang berbeda dengan dunia tempat dia lahir. Dia bukan anak yang bodoh, dia bisa membedakan dan selalu mempertanyakan apakah seseorang bisa dipercaya atau tidak, terlebih jika menyangkut keselamatan hidup. Tapi sepertinya otak jeniusnya tidak mau bekerja jika yang ditawarkan didepannya sebagai harga pengganti sangat-sangat menguntungkan.

Dia tahu pasti kelemahannya dan berusaha keras menekannya. Jika masalahnya adalah kelemahan dalam hal kekuatan fisik itu akan lebih mudah ditangani. Kenyataannya, ketrampilan berperangnya dengan menggunakan pedang sangat bagus, mungkin terbaik di dunia ini, mengingat dia bisa mahir menggunakan 2 pedang bersamaan sementara kakaknya tidak. Bahkan dia juga lebih trampil menggunakan busur panah di banding kakak perempuannya yang memiliki busur pribadi.

Kepercayaannya pada sang singa sudah bertambah besar jika dibandingkan saat pertama kali dia menginjakkan kaki di dunia ini, meski belum bisa menandingi sang adik. Dia tahu, berkat itulah selama ini dia berhasil menekan sifat ‘pembuktian diri’ yang selalu menjadi tekanan. Namun di saat-saat tertentu, ketika penawaran menjadi cukup menggiurkan dan kegelapan hatinya muncul ke permukaan, kenangan itu selalu hadir menghantuinya. Perasaan bersalah yang selalu membuat dadanya terasa sesak kembali menghadirkan suara masa lalu yang ingin dikuburnya.

“Edmund, what you want to prove? I can make you my King”

Sering dikatakan bahwa pengalaman adalah sebuah pelajaran yang berharga. Dia membuktikan kebenarannya, dari tangan pertama. Tetap saja, seberharga apapun itu ada kalanya saat kalah dari tekanan. Terutama dari tekanan yang membuatnya berfikir bahwa dia selalu harus di bawah baying-bayang orang lain, tidak merasa beruntung dan merasa ketidakadilan sedang terjadi pada hidupnya.

Semua itu selalu hadir dan bertarung dengan prinsip perbaikan dirinya agar tidak mengulang kesalahan yang sama. Saat masih kecil, dia terbiasa mengatakan apa yang ada di kepalanya, tidak peduli jika membuat masalah semakin runyam. Ketika dewasa, dia lebih menyimpan sendiri apa yang ada di kepalanya dan mengatakannya setelah mengolahnya berkali-kali di dalam. Sementara dia yang sekarang, tercabik antara ingin berteriak dan sadar jika dia tidak boleh sembarangan berteriak. Sekali lagi, pengaruh perbedaan waktu dalam pertumbuhan yang berjalan mundur, fisik tidak begitu masalah, tapi emosi, tidak mudah. Terlebih baginya yang memiliki masalah hati yang tidak akan pernah selesai sampai kapanpun.

Hanya demi harta dan kekuasaan, demi pembuktian diri yang sebenarnya tidak dia perlukan. Dia berbalik memunggungi saudaranya. Tidak peduli sebanyak apapun hal yang dia lakukan untuk menebus kesalahan itu, dia sadar bahwa jauh di dasar hatinya tidak hanya perasaan bersalah, tapi juga keinginan yang mendasari semua itu juga masih setia menetap di sana. Menunggu saat yang tepat untuk keluar lagi. Dia hanya bisa berharap jika saat itu tidak akan pernah datang.

“Edmund”

Atau, mungkin jika saat itu datang. Dia akan siap kali ini. Karena dia sadar, dia memiliki sesuatu yang lebih layak diperjuangakan daripada sekedar kebanggan diri, harta dan kekuasaan. Sesuatu yang selalu berada di sampingnya, yang selalu mempercayainya dan menerimanya tidak peduli sebesar apapun kesalahan yang telah diperbuat. 

Dia menoleh ke arah suara yang memanggilnya dan menjumpai adiknya berdiri di sana. Adik satu-satunya yang dulu selalu dia antagoniskan namun selalu menjadi orang yang pertama kali akan membuka tangannya lebar-lebar dan menyambutnya dengan senyuman. Orang yang, dia bertekat dalam hati, akan selalu dia lindungi. Kedua kakaknya tidak ada di samping mereka kali ini, hanya mereka berdua dan dia juga sudah berjanji pada kedua kakaknya untuk menjaga adik mereka tersayang. Adik yang paling murni hatinya di antara mereka berempat.

Dia tidak tahu apa yang akan mereka hadapi, tapi satu hal dia yakin, mereka akan bisa melewatinya, seperti yang selama ini, dengan kerja sama dan kepercayaan maka apapun masalah yang dating dia akan berusaha mengatasinya. Karena dia memiliki senjata yang lebih hebat dari apapun didunia manapun. 

Sembari menghela nafas dia menetapkan hati dan membuka mulut, menyapa suara yang selalu konstan berada di kehidupannya sejak dia berusia 2 tahun. 

“Lucy”

Memperhatikan adiknya yang tidak terlihat seperti biasa, hanya satu hal yang terlintas, masalah, dan cukup menganggu jika adiknya sampai berwajah muram. Menurunkan dan melonggarkan cengkramannya pada pedang yang sempat di sambarnya. Di sampingnya sang raja yang bertahta sekarang ikut bergabung dengan mereka di alam sadar.

Memperhatikan sudah menjadi kebiasaannya. Dia hanya tidak mengatakannya jika dia memperhatikan. Dia lebih suka berdiam diri dan melebur sebagai bayangan, salah satu dari usaha perbaikan dirinya. Jika pemicu masalahnya adalah sorot cahaya di tengah panggung, masa sebisa mungkin dia akan berusaha menghindarinya. Dia juga tidak begitu baik dalam hal mengekspresikan perasaan, karena itu hal terbaik yang bisa dilakukannya hanyalah diam dan memperhatikan.

Menunggu sang adik mengatakan alasannya berkunjung tengah malam, dia hanya duduk dan memmandang adiknya yang berjalan mendekat ke arahnya tanpa bertanya apapun. Dia tahu bahwa adiknya paham, satu kata darinya sudah melebihi cukup sebagai pemicu pertanyaan lain tak terucap, terlebih jika kata itu menyebut nama sang adik. 

“I can’t sleep”

Ya, katakan hal itu padanya. Dibandingkan siapapun, dialah yang paling tahu alasan dibaliknya. Karena dia selalu mengalaminya, setiap malam, terutama ketika kegelapan mulai menyebar dalam hatinya, berusaha meruak muncul ke permukaan. Alasan yang selalu sama.

“Let me guess, bad dreams”
 

-end- 

Harry Potter Magical Wand