Marquee Tag - http://www.marqueetextlive.com

Jumat, 27 Desember 2013

(fanfic) The Untold Story


The Ice Prince - (Draco Malfoy)



“I must do this”

Untuk kesekian kalinya dia berharap kalimat itu kembali bisa membuatnya bertahan, menyokongnya seperti apa yang selama ini dialaminya sejak musim panas tahun lalu. Hanya saja keberuntungan tidak pernah berpihak padanya, getaran di tubuhnya tidak juga berhenti dan rasa sesak di dadanya semakin bertambah. Tak lama kemudian air mulai mengalir dari matanya menyertai suara pelan yang keluar dari tenggorokannya.

Sejak kecil dia selalu hidup dalam kenyamanan dan kemewahan. Ayahnya selalu memberikan apapun yang dia inginkan. Ibunya selalu memperlakukannya dengan istimewa. Banyak hal yang bisa dia banggakan dan membuat banyak anak seusianya merasa iri padanya. Masa kecilnya bagaikan seorang pangeran. Kehidupan yang pastinya diimpikan untuk dimiliki oleh semua orang. Dan hanya dia yang bisa memilikinya.

Namun, setahun yang lalu, dunia yang dikenalnya sejak kecil itu hancur, lenyap tak bersisa dalam waktu singkat, digantikan oleh terror dan ketidakberdayaan. Ayah yang dibanggakan dan selalu melindunginya direnggut tiba-tiba dengan meninggalkan cercaan dan hinaan, membuat Ibu yang selalu memanjakannya berusaha keras menggantikan posisi sang Ayah untuk melindunginya. 

Saat tersadar dia sudah terseret di tengah-tengah kekacauan dan mendapat beban berat di pundaknya. Beban yang bernama sebuah tanggungjawab. Seolah itu semua belum cukup, tidak hanya sekedar tanggungjawab biasa yang didapatnya, melainkan sebuah tanggungjawab akan sebuah nyawa. Tiga tepatnya. Dirinya sendiri dan kedua orangtuanya.

“I don’t want this, I don’t choose this”

Dia mengakui memang saat kecil dia selalu bercita-cita untuk menjadi seseorang seperti Ayahnya. Itu berarti melakukan semua hal persis seperti apa yang dilakukan oleh Ayahnya. Keinginan itu lenyap saat kenyataan menghantamnya dengan keras dan dia mulai mempertanyakan kebenaran ‘cerita’ yang selalu didengarnya sejak kecil. Hanya saja, kesadarannya yang dating ini tidak disertai dengan pilihan yang adil. Pada dasarnya dia bahkan tidak yakin jika sejak awal dia diberikan pilihan.

Tersaruk, dia berusaha mati-matian mencoba bertahan. Melakukan apa yang dianggapnya merupakan jalan terbaik. Mengacuhkan teriakan suara-suara di kepalanya yang mengatakan bahwa pilihannya salah. Mengubur dalam-dalam perasaan yang mengganjal di hatinya setiap dia berusaha menyelesaikan tugasnya. Berulangkali meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia harus melakukannya. Bahwa dia dapat melakukannya. 

Bergantung pada harapan kecil yang dia tahu mustahil terwujut. Mencoba menambah waktu yang semakin habis untuk keluarganya bernafas meski sedikit. Berkali-kali gagal dan hampir putus asa, tapi dia selalu kembali dapat membulatkan tekat untuk kembali melangkah. Mengharap sebuah keajaiban akan datang sebelum terlambat.

“No one can help me”

Dia sadar semua tergantung pada keberhasilannya. Kehidupannya dan kedua orangtuanya masih akan berlanjut atau tidak berada di tangannya. Dia tidap pernah dihadapkan dengan masalah seperti ini. Dia tidak pernah dipersiapkan untuk hal seperti ini. Dalam buku tidak ada satu carapun panduan untuk mengatasinya. Dia sama sekali tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia hanya seorang anak yang masih berusia enam belas tahun. 

Sempat terpikir untuk meminta bantuan, tapi dengan cepat pikiran itu hilang ketika mengingat tatapan dan tawa meremehkan yang terdengar di belakangnya. Tidak akan ada yang bersedia membantunya. Mereka terlalu gembira melihat kejatuhan Ayahnya dan menunggu kegagalannya. Sebuah kesempatan emas untuk menggantikan posisi keluarganya di mata sang pemimpin yang tidak akan dilewatkan siapapun.

Pilihan untuk menyebrangpun tertutup sama rapatnya. Pihak seberang mencurigainya bahkan lama sebelum dia ikut terseret dalam kekacauan ini. Membenci, mencela dan meragukan setiap perkataannya. Berpikir bahwa dia adalah seorang yang licik, tidak berperasaan dan ambisius yang tidak bisa dipercaya hanya dengan melihat latar belakang secara umum tanpa mau berusaha mengenal terlebih dahulu. 

Hipokrit itu kata yang mereka gunakan untuk menggambarkan dirinya. Mereka beranggapan dia tidak pernah menghargai orang lain, memandang sebelah mata dan menilai seseorang hanya dengan melihat sepintas. Dia ingin sekali tertawa setiap kali mendengarnya. Bukankah mereka juga sama. Mereka juga melakukan hal seperti itu pada dirinya. Kalau dia adalah hipokrit bukankah itu artinya mereka juga. 

Kondisinya saat ini seakan seperti sedang berdiri di ujung jalan tanpa tahu arah tujuan, dia hanya bisa melangkah di jalan yang tersisa untuknya. Jalan yang sudah dibentangkan oleh orang-orang di sekelilingnya tanpa meminta pendapatnya dan mempertanyakan keinginannya terlebih dahulu. 

Orang-orang mengharapkan sesuatu darinya. Membuat beban yang berada di bahunya terasa semakin berat. Tertekan, ketakutan dan putus asa datang silih berganti mewarnai hari-harinya. Semua itu lebih besar dari batas kemampuan yang bisa di tanggungnya. Dia hanya ingin semua ini segera berakhir. Dia hanya ingin kehidupannya yang dulu kembali. Hanya ingin bertahan hidup dan menyelamatkan kedua orangtuanya.

Bayangan untuk mengakhiri hidupnya sempat menawarkan diri sebagai solusi terbaik. Setidaknya dia tidak akan melihat kedua orangtuanya pergi. Setidaknya dia tidak akan tahu jika dia yang menyebabkan jantung kedua orangtuanya berhenti berdetak. Tapi saat memikirkannya lebih dalam, bayangan itu terlalu menakutkan untuknya. 

“I need to do this”

Bagi sebagian orang mungkin lebih baik jika orang tuanya menghilang, bahkan mungkin akan membuat mereka tertawa gembira. Tapi tidak baginya. Dia tahu, akhirnya, apa yang kedua orang tuanya percaya berada di sisi yang pantas disingkirkan, tapi bagaimanapun juga, mereka tetap orang tuanya, 2 orang di dunia ini yang menyayanginya lebih dari siapapun dan tanpa motif apapun. Baginya, mereka tak tergantikan, dia rela membuang apa saja, termasuk dunia untuk mempertahankan mereka di sisinya.

Mengangkat wajah, dia mendapati wajah yang sangat dikenalnya menatap balik dari dalam cermin. Ekspresi keputusasaan jelas terpancar jelas di matanya yang sedikit bengkak dan berwarna kemerahan. Jejak air tergambar samar di kedua pipinya. Memejamkan mata, dia berusaha mengontrol diri kembali. Menarik nafas beberapa kali, merasakan sesak di dadanya berkurang sedikit demi sedikit, begitu juga getaran di tubuhnya perlahan mulai menghilang. Detak jantungnya kembali normal. 

Membuka mata dan membulatkan tekat, wajahnya kembali mengeras secara perlahan. Kembali menjadi datar tanpa ada tanda-tanda adanya sebuah ekspresi yang dapat memberi jalan bagi seseorang untuk mengetahui apa yang dirasakannya. Tekat di hatinya baru mulai terbentuk dan belum merekat dengan sempurna saat sebuah suara terdengar tiba-tiba.

“I know what you did Malfoy”

Terkejut, dia berbalik dan mendapati sosok yang selalu membuatnya iri berdiri di sana. Mendadak perasaan marah menguasainya. Dengan tangan teracung ke depan, dia membuka mulut, bermaksut menyerukan sebuah kata yang bisa berakibat fatal. Namun seperti yang sering terjadi selama ini. Dia tidak pernah menang darinya. Dari sang pahlawan yang selalu beruntung, sang pahlawan yang dielu-elukan semua orang, pahlawan yang hebat dan terlatih itu sudah berseru lebih dulu darinya.

“Sectumsempra”

Dia merasakan sakit di punggung saat menghantam lantai. Air mengucur keluar dari wastafel yang ikut hancur setelah diterjang tubuhnya. Detik berikutnya rasa sakit yang dirasakannya bertambah dengan rasa perih di dadanya yang bagaikan teriris. Dari sudut matanya, dia melihat warna merah perlahan mengalir, bercampur dengan air yang masih terus menggenangi lantai. 

Berpikir mungkin keajaiban yang ditunggu dan diharapkannya tiba. Bahwa keberuntungan akhirnya jatuh kasihan dan mau menghampirinya. Harapan yang tadinya bersinar redup perlahan membesar. Mungkinkah ini merupakan jawaban yang dicarinya selama ini. Jika benar ini yang terbaik, dia berpikir untuk menerimanya. Setidaknya dengan ini dia tidak perlu katakutan lagi. Dia bisa terbebas dari segala kekacauan ini. Dan mungkin saja dengan ini dapat membuat kedua orangtuanya bisa bernafas lebih lama.

Perlahan kesadarannya menghilang, samar-samar dia masih mendengar suara teriakan dan langkah kaki di kejauhan. Suara air mulai berkurang seiring dengan pandangannya yang menjadi buram. Meski dia tahu pasti wajah siapa yang membungkuk memandanganya namun matanya tidak bisa menangkap dengan jelas. Kegelapan dan keheningan perlahan tapi pasti mulai menyelimutinya. Dan akhirnya sebelum benar-benar kehilangan kesadaran sebuah kalimat melintas di kepalanya dengan jelas. 

‘I am dead’        


-End-
 

Tidak ada komentar:

Harry Potter Magical Wand