The
Mischief God - (Loki)
“No,
Loki”
Menjadi anak kedua tidaklah mudah. Terlebih lagi jika sang kakak menyebalkan. Baiklah sebagian besar kakak memang menyebalkan. Sekali lagi, terlebih jika sang kakak mempunyai kepercayaan diri yang berlebihan dan semua orang menganggapnya hebat. Dan sang raja memilih sang kakak sebagai pengganti tanpa mempertimbangkan kemampuan dirinya dan sang kakak dengan adil, hanya karena dia anak pertama. Bukan, karena dia memang satu-satunya anak sang raja.
Menjadi trickster bukanlah tujuan awalnya. Dia hanya suka melakukannya karena dengan melakukannya dia akan mendapatkan perhatian orang-orang di sekelilingnya. Orang-orang yang selalu hanya memperhatikan kakaknya dan melupakan keberadaannya. Namun entah sejak kapan malah menjadi kebiasaanya. Dan dia cukup menyukainya, karena dia mendapatkannya dari sang Ibu, satu-satunya orang yang masih ingat bahwa dia ada.
Bukan
berarti dia terlupakan begitu saja. Orang-orang tahu pasti dengan keberadaannya,
mereka hanya tidak mau mendengarkan dan selalu mengacuhkannya. Teman-temannya
tidak akan melihatnya jika dia tidak melakukan sesuatu, sang kakak yang semakin
berjalannya waktu selalu memotong dan mengacuhkan apapun perkataannya. Bersikap
jika dia adalah salah satu dari teman-teman yang setia mengikutinya, bukan adik
yang seharusnya berjalan sejajar di sampingnya.
Perasaan
yang dipendamnya semakin lama semakin membuatnya marah dan hanya dengan
melakukan beberapa keisengan-lah dia sedikit terhibur, berpikir jika mereka
pantas mendapatkannya dan sebagai salah satu usaha balas dendamnya. Meskipun
hal itu membuatnya semakin menjadi outcast dimanapun dia berada. Yah, bukan
salahnya jika tidak banyak yang bisa memahami rasa humornya.
Hanya
saja, mengetahui bahwa dia benar-benar merupakan outcast bukanlah hal yang bisa
berakhir dengan baik. Kenyataan tidak seperti sebuah cerita dongeng klasik,
dimana hanya dengan kalimat ‘kamu tetap anakku tidak peduli siapapun kamu,
karena akulah yang membesarkanmu’. Terlebih jika mengetahui alasan mengapa dia
bisa sampai di tempat yang bukan merupakan bangsanya dan tumbuh besar sebagai
bayangan yang tidak pernah dihormati.
Halo,
dia tetaplah anak dari sang raja, yang berarti meski dia anak kedua, atau bukan
sama sekali setelah tahu ha yang sebenarnya, tetap saja seharusnya dia seorang
pangeran, salah satu dari 2 penerus tahta yang harus, atau paling tidak
didengarkan perkataannya.
Takdirnya
adalah menjadi raja. Pendapatnya itu tidaklah salah, karena pertama, meski anak
kedua, dia masih punya separuh kemungkinan mendapat posisi raja. Dan kedua,
jika dia tidak terdampar dan tetap berada di lingkungan bangsanyapun, maka dia
tetap akan menjadi raja, karena dia adalah satu-satunya pewaris tahta. Hey,
yang manapun itu dia tetap mempunyai takdir sebagai raja.
Hanya
saja, kembali ke masalah awal, sang kakak yang terpilih dengan tidak adil
membuatnya kesal. Dan bukan salahnya jika sang kakak menghilang, meninggalkan
posisi kosong yang bisa di ambilnya. Bukan salahnya juga kalau dia tidak
menyia-nyiakan kesempatan.
Tapi
sekali lagi, cerita klasik lama berulang kembali. Tokoh utama selalu mendapat
apa yang diinginkan dan tokoh sampingan hanya akan di letakkan di samping.
Disaat semua sibuk memikirkan nasib sang tokoh utama, tidak adakah yang bisa
mencoba untuk memahami posisinya. Menjadi bayangan selalu menimbulkan efek
samping, diantaranya perasaan marah, rendah diri, terlupakan, dan yang paling
parah, jika ada kesalahan maka dia akan menjadi orang pertama yang ditunjuk sebagai
sang pelaku.
Kata
lelah tidak sepenuhnya bisa menggambarkan apa yang bergolak dalam hatinya. Dan kondisinya
sudah benar-benar melampaui kata itu. Apapun yang dilakukan, dikatakan bahkan
dipikirkannya selalu saja tidak tepat di mata orang lain. Berusaha seperti
apapun agar sang ayah melihatnyapun hanya menghasilkan sebuah kesalahan besar
di mata sang ayah. Bahkan sang kakak tiba-tiba menjadi peran penderita dalam
ceritanya, cerita yang seharusnya dia-lah sang korban dari kenyataan.
Kalau
dia tidak bisa menjadi pelindung maka dia akan menghancurkan, baiklah, bukan
menghancurkan, tapi mengacaukan segalanya. Dia memilih untuk menjadi Antagonis
daripada harus tunduk pada sang tokoh utama. Setidaknya dia bisa melakukan apa
yang dia sukai dengan bebas. Menjadi dirinya sendiri, tidak lagi memikirkan dan
mencari persetujuan demi pengakuan eksistensi untuk dirinya.
Memilih
jalannya sendiri, dia melepaskan tangannya. Melepaskan diri dari semua hal yang
selama ini bersamanya.
-fin-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar