Marquee Tag - http://www.marqueetextlive.com

Minggu, 29 Desember 2013

(fanfic) The Untold Story


The Only Human – (Stiles Stilinski)




“So, they told you it was me?”

Dia hanya berdiri di sana, di sebelah sahabat baiknya, memandang kosong kearah dua orang yang berada di depannya. Seorang adalah kenalan yang baru saja mereka kenal akhir-akhir ini, tapi beberapa kali saling membantu untuk bertahan hidup, seorang lagi adalah guru bahasa di sekolahnya, yang sedang sibuk meyatakan diri tidak bersalah. Bayangan ayahnya silih berganti muncul di dalam kepalanya.

Sejak kecil dia merupakan anak yang ceria, mungkin dikarenakan sifat hiperaktifnya, ya dia mempunyai penyakit ADHD, sehingga membuatnya susah untuk diam walau hanya sebentar. Dia selalu bertindak tanpa pikir panjang setelah mendapat ide, daya tangkap dan analisanya yang cukup baik membantunya membuat keputusan yang tepat sehingga jarang melakukan kesalahan. Meski terkadang dia juga cukup ceroboh untuk hal-hal kecil dan tersandung benda-benda di sekitarnya. 

Tumbuh besar di bawah kasih sayang kedua orang tua membuatnya bersyukur jika membandingkan dengan kehidupan sahabatnya yang hanya bersama orang tua tunggal. Walaupun hanya 10 tahun, tapi itu sudah cukup baginya untuk bisa memahami dan menghargai arti keberadaan seseorang. Ibunyalah yang mengajarkan semua itu. Terlebih dengan cara yang bahkan tidak akan terlupakan sampai kapanpun.

“Mom, died”

Dia tahu sejak lama jika ibunya sakit, dia juga tahu ayahnya memikirkan sesuatu, dia hanya tidak tahu apa itu. Belajar dari pengalaman, ada 2 tanggapan yang bisa di dapatnya dari bertanya, antara mendapatkan jawaban yang sebenarnya atau bentakan untuk diam. Dari kedua orang tuanya dia selalu mendapatkan respon yang pertama, tapi dari beberapa yang lain, kebanyakan yang kedualah yang didapatnya. Terlebih jika dia bertanya pada seseorang yang mempunyai wajah ‘tertentu’.

Ketika ibunya mulai menginap di rumah sakit, ayahnya sering memasang wajah ‘tertentu’ itu, meski jika dia nekat bertanya ayahnya pasti akan tersenyum dan menjawab dengan halus. Dia belajar lagi hal lain, antara jawaban yang sebenarnya atau sebuah kebohongan. 

Pendapat umum mengatakan sekolah adalah tempat untuk belajar segala hal, tapi kedua orangtunya sering mengatakan, belajar tidak hanya bisa di dapat di sekolah, dia bias mendapatkannya dimanapun asalkan dia mau melihat, mendengar dan merasakan. Itulah yang dilakukannya, sebagai anak seorang polisi, dia sering melihat berbagai macam kenyataan dan ekpresi serta luapan emosi manusia. Di balik sikapnya yang sering bertanya, dia juga sering berpikir dan mengolah semua apa yang dia lihat dan jawaban atau tidak ada jawaban yang di dapatnya. Dia belajar bahwa manusia bisa membuat sebuah ekspresi yang sama sekali bertentangan dengan apa yang ada di dalam hatinya.

Pelajaran demi pelajaran di dapatnya seiring bertambahnya usia, setiap hari dia mendapat satu hal lain, dan tempatnya berada membuatnya lebih bisa memahami apa yang dinamakan ‘kehidupan’ daripada apa yang bisa dipelajari di sekolah. Sejak usia 6 tahun, dia lebih sering berada di rumah sakit atau di kantor polisi daripada di rumah dan sekolah. 4 tahun merupakan waktu yang cukup panjang baginya untuk memahami dan membentuk sebuah karakter. Karena itu saat berusia 10 tahun dan salah satu orang tuannya meninggalkannya untuk selamanya, dia sudah paham, bahwa dia harus menjaga apa yang sangat berarti baginya karena suatu saat hal itu akan hilang dari jangkauan, cepat atau lambat, terduga atau tidak. 

“I miss your mom”

Saat kematian Ibunya, dia belajar bahwa ada hal yang perlu dikatakan dan ada hal yang lebih baik di simpan demi kedamaian bersama. Dan entah sejak kapan dia terbiasa untuk memilah hal-hal itu dan memasang sebuah garis batas bagi dirinya sendiri. Dia juga menyadari ada kalanya seseorang tidak ingin mendengar dan berharap untuk mendengar hal lain. Belajar bahwa sampai di suatu titik hal lain itu dapat memberikan sebuah kebaikan daripada kenyataan yang sebenarnya. Maka dia mulai mempelajarinya, dia mulai mengembangkan sebuah kemampuan lain dalam dirinya. Kemampuan untuk mengatakan hal yang lain, kemampuan untuk berbohong. Dan saat sahabatnya mendapat perubahan yang tidak terduga, kemampuan itu berkembang semakin pesat.  

Sejujurnya, kemampuan ini tidak begitu dia sukai, karena meski dapat membawa senyum di wajah seseorang namun juga memberi sebuah tekanan dalam hatinya, tekanan yang bahkan lebih berat dibandingkan dengan kemampuan saat dia mengetahui bahwa suatu hal lebih baik dibiarkan tenggelam di dasar yang paling dalam.

Pembicaraan mengenai Ibunya tidak pernah muncul di permukaan, karena dia tahu, bukan hanya bagi ayahnya, bahkan bagi dirinya sendiri hal itu lebih baik terkunci rapat dalam kotak harta. Namun berbohong pada ayahnya memunculkan konflik lain dalam hatinya yang lebih besar daripada hal itu. Berulang kali dia mengatakan pada dirinya sendiri bahwa berbohong merupakan cara yang terbaik. Bahwa itu merupakan satu-satunya cara untuk menjaga keselamatan tidak hanya ayahnya tapi seluruh kota, terutama ayahnya.

Hanya saja jauh di dasar hatinya dia terus mendengar sebuah suara yang berteriak bahwa suatu saat kebohongan serapi apapun adalah sebuah kebohongan. Itu berarti bahwa tidak ajaminan ayahnya akan selamat meski dia tetap diam, terlebih dengan pekerjaan ayahnya yang jelas-jelas menempatkannya di garis depan bahaya. Suara itu terus menerus menganggunya, berulang kali dia meredam, setiap kali juga suara itu kembali terdengar. Secara logika, akan lebih baik jika ayahnya mengetahui hal yang sebenarnya. Tapi dia tidak berhak mengatakannya, karena hal itu menyangkut orang lain, termasuk sahabatnya. Dan dia sudah belajar untuk tidak mengatakan apa yang bukan miliknya.

Beralih pada pilihan lain, dia berusaha untuk menjadi kuat. Setidaknya jika dia tidak bisa mengatakan sesuatu dia bisa berbuat sesuatu. Kekuatan fisik jelas bukan pilihan pertamanya, apalagi jika dibandingkan dengan kenyataan yang selama ini tidak dia sadari. Dia menetapkan diri pada keahliannya yang lain, menggunakan otak. 

Namun itupun belum cukup. Berkali-kali dia merasa ketakutan akan kehilangan hal lain yang berharga. Satu hal sudah diambil darinya, dia tidak akan melepaskan yang lain, tidak jika dia bisa mencegahnya. Berusaha sekuat mungkin, bertekat untuk menjadi kuat dia semakin mengubur sisi dirinya yang lain. Sisi yang ceria yang semakin lama semakin hilang tergantikan oleh pandangan sarkatis pada kehidupan yang dilihatnya. Dia semakin menyadari bahwa kehidupan itu keras.

“I’m proud and happy for you”

Dia tidak pernah menangis, dalam hidupnya, dia tidak pernah sekalipun menangis. Saat Ibunya pergi. Dia hanya duduk diam di koridor menyandarkan kepalanya pada kepalan tangan dan menunggu sang ayah datang. Hari hari setelah kematian Ibunya dimana sang ayah menenggelamkan diri pada pekerjaan dan alcohol setiap malam, ketika berpikir bahwa dia sudah tidur, yang pada kenyataannya dia berusaha sekuat mungkin untuk mengatasi penyakit baru yang dideritanya, Panic Attack, membuatnya lupa untuk menangis.

Ketika dia merasa putus asa saat Kanima menyerang kantor polisi dan hanya bisa terbaring di lantai, dia menekan amarahnya dan memfokuskan diri untuk mencoba bergerak agar setidaknya bisa melihat dan memastikan bahwa ayahnya baik-baik saja. Di antara keributan dan kecemasan yang memuncak, dia tidak punya waktu untuk menangis.

Begitu juga saat sang ayah memeluknya dengan perasaan lega ketika dia menjadi penyampai pesan dari sang pemburu untuk yang diburu. Sepanjang perjalanan dia terlalu sibuk memikirkan alasan yang tepat untuk menyamarkan jejaknya sehingga menangis sama sekali tidak terlintas dipikirannya. 

Saat teman yang dikenalnya sejak kecil terbunuh. Saat sahabatnya, satu-satunya teman yang dia miliki, saudara yang tidak pernah dia miliki, mencoba meninggalkan dunia karena merasa bersalah dan putus asa, dia memutar otak, mencari cara untuk meyakinkan sang sahabat untuk bertahan, membujuk agar sekali lagi mereka berjuang bersama. Bertekat akan ikut pergi bersama membuatnya sedikitpun tidak merasakan keinginan untuk menangis.

Dia sudah belajar bahwa menangis tidak akan menyelesaikan masalah, bahwa menangis hanya akan membuat orang yang peduli padanya sedih, bahwa menangis hanya akan membuat ayahnya khawatir. Karena itulah, dia selalu berusaha tersenyum.

“I’m listening!!”

Teriakan ayahnya kembali terngiang di telinga. Sejak kecil ayahnya tidak pernah berteriak padanya. Ketika semua orang lelah mendengar pertanyaan yang selalu dilontarkannya, ayahnya hanya tersenyum dan menjawab dengan sabar. Saat membangunkannya untuk pergi ke sekolah agar tidak terlambat, melihatnya berkeliaran di TKP dan mendengarkan radio polisi, ikut campur dalam kasus-kasus yang di tangani ayahnya, atau sekedar memaksa ayahnya dengan makanan sehat. Bahkan saat membuat ayahnya kehilangan lencana sheriff-pun, sang ayah tetap tidak pernah menaikkan nada suaranya.

“You just don’t believe. Mom will believe me”

Dia tidak pernah membayangkan bahwa pertengakaran pertama dengan ayahnya adalah hal terakhir yang dilakukannya sebelum akan kehilangannya. Dia marah pada dirinya sendiri yang tidak meminta maaf setelah mengucapkan kalimat yang dia tahu sangat menyakitkan bagi ayahnya. Dia menyesal selama ini hanya diam dan tidak mengatakan kebenaran pada ayahnya sehingga ayahnya berpikir bahwa apapun yang ada di belakang kasus adalah hanya seorang pembunuh psikopat yang kejam.

Dia pernah kehilangan seseorang yang berharga dan dia tidak ingin hal itu terjadi untuk kedua kalinya. Dia susah payah berjuang saat sang Ibu di ambil dari sisinya, dengan bantuan dan demi ayahnya dia berhasil melewati semua kesulitan. Apapun itu dia sanggup bertahan karena dia tahu sang ayah akan selalu berada di belakangnya, siap menangkapnya jika dia hendak terjatuh. Tapi siapa yang akan berada di sisinya jika sang ayahpun di ambil darinya.

“Dad?!”

Dunianya seolah berhenti saat dia menyadari ayahnya menghilang. Baginya ayahnya adalah segalanya, kunci dari dunianya yang masih berputar saat ini. Kehilangan Ibu membuatnya mengulang kembali dan berusaha mengingat bagaimana caranya untuk bernafas. Karena ayahnyalah dia berhasil melakukannya. Jika sang ayah juga menghilang, dia tidak tahu lagi cara untuk bernafas, tidak akan ada yang mengajarkannya, tidak ada apapun.

“We told, you are the one killing people”

Suara sahabatnya terdengar stabil, perlahan membawa kesadarannya yang sempat hilang kembali ke waktu saat ini. Dia masih berdiri di sana, di samping sahabatnya, memandang lurus ke depan. Dan tiba-tiba saja berbagai perasaan menghantamnya dengan keras. Perasaan yang selama ini ditekannya mengalir keluar secara bersamaan. Bersalah, takut, marah, putus asa, membuat dadanya terasa sesak dan akhirnya dia menyerah. Dia menyerah kalah dan membiarkan pertahanan yang dibangunnya selama bertahun-tahun hancur berantakan. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, air mengalir turun dari matanya.

“Where’s my Dad?”

-Fin-

Tidak ada komentar:

Harry Potter Magical Wand