The Ice Prince - (Draco Malfoy)
“I
must do this”
Untuk
kesekian kalinya dia berharap kalimat itu kembali bisa membuatnya bertahan,
menyokongnya seperti apa yang selama ini dialaminya sejak musim panas tahun
lalu. Hanya saja keberuntungan tidak pernah berpihak padanya, getaran di
tubuhnya tidak juga berhenti dan rasa sesak di dadanya semakin bertambah. Tak
lama kemudian air mulai mengalir dari matanya menyertai suara pelan yang keluar
dari tenggorokannya.
Sejak
kecil dia selalu hidup dalam kenyamanan dan kemewahan. Ayahnya selalu
memberikan apapun yang dia inginkan. Ibunya selalu memperlakukannya dengan
istimewa. Banyak hal yang bisa dia banggakan dan membuat banyak anak seusianya
merasa iri padanya. Masa kecilnya bagaikan seorang pangeran. Kehidupan yang pastinya
diimpikan untuk dimiliki oleh semua orang. Dan hanya dia yang bisa memilikinya.
Namun,
setahun yang lalu, dunia yang dikenalnya sejak kecil itu hancur, lenyap tak
bersisa dalam waktu singkat, digantikan
oleh terror dan ketidakberdayaan. Ayah yang dibanggakan dan selalu
melindunginya direnggut tiba-tiba dengan meninggalkan cercaan dan hinaan,
membuat Ibu yang selalu memanjakannya berusaha keras menggantikan posisi sang
Ayah untuk melindunginya.
Saat
tersadar dia sudah terseret di tengah-tengah kekacauan dan mendapat beban berat
di pundaknya. Beban yang bernama sebuah tanggungjawab. Seolah itu semua belum
cukup, tidak hanya sekedar tanggungjawab biasa yang didapatnya, melainkan
sebuah tanggungjawab akan sebuah nyawa. Tiga tepatnya. Dirinya sendiri dan
kedua orangtuanya.
“I
don’t want this, I don’t choose this”
Dia
mengakui memang saat kecil dia selalu bercita-cita untuk menjadi seseorang seperti
Ayahnya. Itu berarti melakukan semua hal persis seperti apa yang dilakukan oleh
Ayahnya. Keinginan itu lenyap saat kenyataan menghantamnya dengan keras dan dia
mulai mempertanyakan kebenaran ‘cerita’ yang selalu didengarnya sejak kecil.
Hanya saja, kesadarannya yang dating ini tidak disertai dengan pilihan yang
adil. Pada dasarnya dia bahkan tidak yakin jika sejak awal dia diberikan
pilihan.
Tersaruk,
dia berusaha mati-matian mencoba bertahan. Melakukan apa yang dianggapnya
merupakan jalan terbaik. Mengacuhkan teriakan suara-suara di kepalanya yang
mengatakan bahwa pilihannya salah. Mengubur dalam-dalam perasaan yang
mengganjal di hatinya setiap dia berusaha menyelesaikan tugasnya. Berulangkali
meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia harus melakukannya. Bahwa dia dapat
melakukannya.
Bergantung
pada harapan kecil yang dia tahu mustahil terwujut. Mencoba menambah waktu yang
semakin habis untuk keluarganya bernafas meski sedikit. Berkali-kali gagal dan hampir
putus asa, tapi dia selalu kembali dapat membulatkan tekat untuk kembali
melangkah. Mengharap sebuah keajaiban akan datang sebelum terlambat.
“No
one can help me”
Dia
sadar semua tergantung pada keberhasilannya. Kehidupannya dan kedua orangtuanya
masih akan berlanjut atau tidak berada di tangannya. Dia tidap pernah
dihadapkan dengan masalah seperti ini. Dia tidak pernah dipersiapkan untuk hal
seperti ini. Dalam buku tidak ada satu carapun panduan untuk mengatasinya. Dia
sama sekali tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia hanya seorang anak yang
masih berusia enam belas tahun.
Sempat
terpikir untuk meminta bantuan, tapi dengan cepat pikiran itu hilang ketika mengingat
tatapan dan tawa meremehkan yang terdengar di belakangnya. Tidak akan ada yang
bersedia membantunya. Mereka terlalu gembira melihat kejatuhan Ayahnya dan
menunggu kegagalannya. Sebuah kesempatan emas untuk menggantikan posisi
keluarganya di mata sang pemimpin yang tidak akan dilewatkan siapapun.
Pilihan
untuk menyebrangpun tertutup sama rapatnya. Pihak seberang mencurigainya bahkan
lama sebelum dia ikut terseret dalam kekacauan ini. Membenci, mencela dan
meragukan setiap perkataannya. Berpikir bahwa dia adalah seorang yang licik,
tidak berperasaan dan ambisius yang tidak bisa dipercaya hanya dengan melihat
latar belakang secara umum tanpa mau berusaha mengenal terlebih dahulu.
Hipokrit
itu kata yang mereka gunakan untuk menggambarkan dirinya. Mereka beranggapan
dia tidak pernah menghargai orang lain, memandang sebelah mata dan menilai
seseorang hanya dengan melihat sepintas. Dia ingin sekali tertawa setiap kali
mendengarnya. Bukankah mereka juga sama. Mereka juga melakukan hal seperti itu
pada dirinya. Kalau dia adalah hipokrit bukankah itu artinya mereka juga.
Kondisinya
saat ini seakan seperti sedang berdiri di ujung jalan tanpa tahu arah tujuan,
dia hanya bisa melangkah di jalan yang tersisa untuknya. Jalan yang sudah
dibentangkan oleh orang-orang di sekelilingnya tanpa meminta pendapatnya dan
mempertanyakan keinginannya terlebih dahulu.
Orang-orang
mengharapkan sesuatu darinya. Membuat beban yang berada di bahunya terasa
semakin berat. Tertekan, ketakutan dan putus asa datang silih berganti mewarnai
hari-harinya. Semua itu lebih besar dari batas kemampuan yang bisa di
tanggungnya. Dia hanya ingin semua ini segera berakhir. Dia hanya ingin
kehidupannya yang dulu kembali. Hanya ingin bertahan hidup dan menyelamatkan
kedua orangtuanya.
Bayangan
untuk mengakhiri hidupnya sempat menawarkan diri sebagai solusi terbaik.
Setidaknya dia tidak akan melihat kedua orangtuanya pergi. Setidaknya dia tidak
akan tahu jika dia yang menyebabkan jantung kedua orangtuanya berhenti
berdetak. Tapi saat memikirkannya lebih dalam, bayangan itu terlalu menakutkan
untuknya.
“I
need to do this”
Bagi
sebagian orang mungkin lebih baik jika orang tuanya menghilang, bahkan mungkin
akan membuat mereka tertawa gembira. Tapi tidak baginya. Dia tahu, akhirnya,
apa yang kedua orang tuanya percaya berada di sisi yang pantas disingkirkan,
tapi bagaimanapun juga, mereka tetap orang tuanya, 2 orang di dunia ini yang
menyayanginya lebih dari siapapun dan tanpa motif apapun. Baginya, mereka tak
tergantikan, dia rela membuang apa saja, termasuk dunia untuk mempertahankan
mereka di sisinya.
Mengangkat
wajah, dia mendapati wajah yang sangat dikenalnya menatap balik dari dalam
cermin. Ekspresi keputusasaan jelas terpancar jelas di matanya yang sedikit bengkak
dan berwarna kemerahan. Jejak air tergambar samar di kedua pipinya. Memejamkan
mata, dia berusaha mengontrol diri kembali. Menarik nafas beberapa kali,
merasakan sesak di dadanya berkurang sedikit demi sedikit, begitu juga getaran
di tubuhnya perlahan mulai menghilang. Detak jantungnya kembali normal.
Membuka
mata dan membulatkan tekat, wajahnya kembali mengeras secara perlahan. Kembali
menjadi datar tanpa ada tanda-tanda adanya sebuah ekspresi yang dapat memberi
jalan bagi seseorang untuk mengetahui apa yang dirasakannya. Tekat di hatinya
baru mulai terbentuk dan belum merekat dengan sempurna saat sebuah suara
terdengar tiba-tiba.
“I
know what you did Malfoy”
Terkejut,
dia berbalik dan mendapati sosok yang selalu membuatnya iri berdiri di sana.
Mendadak perasaan marah menguasainya. Dengan tangan teracung ke depan, dia
membuka mulut, bermaksut menyerukan sebuah kata yang bisa berakibat fatal.
Namun seperti yang sering terjadi selama ini. Dia tidak pernah menang darinya. Dari
sang pahlawan yang selalu beruntung, sang pahlawan yang dielu-elukan semua
orang, pahlawan yang hebat dan terlatih itu sudah berseru lebih dulu darinya.
“Sectumsempra”
Dia
merasakan sakit di punggung saat menghantam lantai. Air mengucur keluar dari
wastafel yang ikut hancur setelah diterjang tubuhnya. Detik berikutnya rasa sakit
yang dirasakannya bertambah dengan rasa perih di dadanya yang bagaikan teriris.
Dari sudut matanya, dia melihat warna merah perlahan mengalir, bercampur dengan
air yang masih terus menggenangi lantai.
Berpikir
mungkin keajaiban yang ditunggu dan diharapkannya tiba. Bahwa keberuntungan
akhirnya jatuh kasihan dan mau menghampirinya. Harapan yang tadinya bersinar
redup perlahan membesar. Mungkinkah ini merupakan jawaban yang dicarinya selama
ini. Jika benar ini yang terbaik, dia berpikir untuk menerimanya. Setidaknya
dengan ini dia tidak perlu katakutan lagi. Dia bisa terbebas dari segala
kekacauan ini. Dan mungkin saja dengan ini dapat membuat kedua orangtuanya bisa
bernafas lebih lama.
Perlahan
kesadarannya menghilang, samar-samar dia masih mendengar suara teriakan dan
langkah kaki di kejauhan. Suara air mulai berkurang seiring dengan pandangannya
yang menjadi buram. Meski dia tahu pasti wajah siapa yang membungkuk
memandanganya namun matanya tidak bisa menangkap dengan jelas. Kegelapan dan
keheningan perlahan tapi pasti mulai menyelimutinya. Dan akhirnya sebelum benar-benar
kehilangan kesadaran sebuah kalimat melintas di kepalanya dengan jelas.
‘I am dead’
-End-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar