The
Just King – (Edmund Pevensie)
“But beware, you
are all about to be tested”
Tes.
Dia selalu tidak suka mendengar kata itu. Buakn karena masalah kemampuan otak,
dia cukup bangga dengan daya analisisnya dan masihbisa mempertahankan posisi 5
besar di sekolah. Hanya saja, tumbuh besar di keluarga sebagai anak ketiga dan
anak laki-laki kedua, kata itu menjadi suatu hal yang bisa membuatnya tertekan.
Kakaknya,
merupakan sosok laki-laki ideal yang disukai semua orang, kakak perempuannya
juga sama sementara adik perempuannya tipe anak manis yang disayangi semua
orang. Dia berbeda dengan kakaknya, sifatnya cenderung menjadikannya sebagai
black sheep dalam keluarga. Saat semua saudaranya tersenyum sopan pada kalimat
yang sama sekali tidak lucu, dia merupakan satu-satunya orang yang melemparkan
fakta itu pada si pembicara.
“To beat the
darknest out there you must fight the darknest inside yourself”
Dia
tahu ketakutan terbesarnya dan sadar bahwa perasaan itu selalu berdiam diri
jauh di dasar hatinya. Bertahun-tahun yang lalu, atau sekitar dua atau tiga
tahun waktu di bumi, dia melakukan kesalahan fatal. Kesalahan yang sampai saat
ini tidak bisa dilupakannya. Meski dia berusaha seperti apapun, kesalahannya
saat itu masih jelas tergambar di balik matanya.
Meskipun
dia juga menjadikan kesalahan itu sebagai titik dasar dan pengingat dalam
segala tindakan dan keputusannya saat menjadi raja, namun itu tidak menghapus
perasaan bersalah dari dalam hatinya pada ketiga saudaranya. Sebutan raja yang
adil tidak membuatnya lupa pada sebutan sang pengkhianat yang pernah di
sandangnya.
Perbedaan
waktu tidak membantu sedikitpun, hanya semakin menambah ujian baginya untuk
berfikir jernih. Menjadi raja membantunya untuk mengalihkan perhatian dengan
memperhatikan tugas-tugasnya, tapi saat kembali menjadi seorang anak remaja,
dorongan itu kembali berusaha muncul ke permukaan. Kegelapan itu terus menghantuinya,
satu kesalahan fatal yang tidak akan pernah bisa dia hapus dari dasar hatinya.
“Edmund, come with
me. Join me”
Suara
itu terdengar kembali di telinganya, masih sejelas dulu, saat pertama kali dia datang
ke dunia ini, dunia yang berbeda dengan dunia tempat dia lahir. Dia bukan anak
yang bodoh, dia bisa membedakan dan selalu mempertanyakan apakah seseorang bisa
dipercaya atau tidak, terlebih jika menyangkut keselamatan hidup. Tapi
sepertinya otak jeniusnya tidak mau bekerja jika yang ditawarkan didepannya
sebagai harga pengganti sangat-sangat menguntungkan.
Dia
tahu pasti kelemahannya dan berusaha keras menekannya. Jika masalahnya adalah
kelemahan dalam hal kekuatan fisik itu akan lebih mudah ditangani.
Kenyataannya, ketrampilan berperangnya dengan menggunakan pedang sangat bagus,
mungkin terbaik di dunia ini, mengingat dia bisa mahir menggunakan 2 pedang bersamaan
sementara kakaknya tidak. Bahkan dia juga lebih trampil menggunakan busur panah
di banding kakak perempuannya yang memiliki busur pribadi.
Kepercayaannya
pada sang singa sudah bertambah besar jika dibandingkan saat pertama kali dia
menginjakkan kaki di dunia ini, meski belum bisa menandingi sang adik. Dia
tahu, berkat itulah selama ini dia berhasil menekan sifat ‘pembuktian diri’
yang selalu menjadi tekanan. Namun di saat-saat tertentu, ketika penawaran
menjadi cukup menggiurkan dan kegelapan hatinya muncul ke permukaan, kenangan
itu selalu hadir menghantuinya. Perasaan bersalah yang selalu membuat dadanya
terasa sesak kembali menghadirkan suara masa lalu yang ingin dikuburnya.
“Edmund, what you want to prove? I can make
you my King”
Sering
dikatakan bahwa pengalaman adalah sebuah pelajaran yang berharga. Dia membuktikan
kebenarannya, dari tangan pertama. Tetap saja, seberharga apapun itu ada kalanya
saat kalah dari tekanan. Terutama dari tekanan yang membuatnya berfikir bahwa
dia selalu harus di bawah baying-bayang orang lain, tidak merasa beruntung dan
merasa ketidakadilan sedang terjadi pada hidupnya.
Semua
itu selalu hadir dan bertarung dengan prinsip perbaikan dirinya agar tidak
mengulang kesalahan yang sama. Saat masih kecil, dia terbiasa mengatakan apa
yang ada di kepalanya, tidak peduli jika membuat masalah semakin runyam. Ketika
dewasa, dia lebih menyimpan sendiri apa yang ada di kepalanya dan mengatakannya
setelah mengolahnya berkali-kali di dalam. Sementara dia yang sekarang,
tercabik antara ingin berteriak dan sadar jika dia tidak boleh sembarangan
berteriak. Sekali lagi, pengaruh perbedaan waktu dalam pertumbuhan yang
berjalan mundur, fisik tidak begitu masalah, tapi emosi, tidak mudah. Terlebih
baginya yang memiliki masalah hati yang tidak akan pernah selesai sampai
kapanpun.
Hanya
demi harta dan kekuasaan, demi pembuktian diri yang sebenarnya tidak dia
perlukan. Dia berbalik memunggungi saudaranya. Tidak peduli sebanyak apapun hal
yang dia lakukan untuk menebus kesalahan itu, dia sadar bahwa jauh di dasar
hatinya tidak hanya perasaan bersalah, tapi juga keinginan yang mendasari semua
itu juga masih setia menetap di sana. Menunggu saat yang tepat untuk keluar
lagi. Dia hanya bisa berharap jika saat itu tidak akan pernah datang.
“Edmund”
Atau,
mungkin jika saat itu datang. Dia akan siap kali ini. Karena dia sadar, dia
memiliki sesuatu yang lebih layak diperjuangakan daripada sekedar kebanggan
diri, harta dan kekuasaan. Sesuatu yang selalu berada di sampingnya, yang
selalu mempercayainya dan menerimanya tidak peduli sebesar apapun kesalahan
yang telah diperbuat.
Dia
menoleh ke arah suara yang memanggilnya dan menjumpai adiknya berdiri di sana.
Adik satu-satunya yang dulu selalu dia antagoniskan namun selalu menjadi orang
yang pertama kali akan membuka tangannya lebar-lebar dan menyambutnya dengan
senyuman. Orang yang, dia bertekat dalam hati, akan selalu dia lindungi. Kedua
kakaknya tidak ada di samping mereka kali ini, hanya mereka berdua dan dia juga
sudah berjanji pada kedua kakaknya untuk menjaga adik mereka tersayang. Adik
yang paling murni hatinya di antara mereka berempat.
Dia
tidak tahu apa yang akan mereka hadapi, tapi satu hal dia yakin, mereka akan
bisa melewatinya, seperti yang selama ini, dengan kerja sama dan kepercayaan
maka apapun masalah yang dating dia akan berusaha mengatasinya. Karena dia
memiliki senjata yang lebih hebat dari apapun didunia manapun.
Sembari
menghela nafas dia menetapkan hati dan membuka mulut, menyapa suara yang selalu
konstan berada di kehidupannya sejak dia berusia 2 tahun.
“Lucy”
Memperhatikan
adiknya yang tidak terlihat seperti biasa, hanya satu hal yang terlintas,
masalah, dan cukup menganggu jika adiknya sampai berwajah muram. Menurunkan dan
melonggarkan cengkramannya pada pedang yang sempat di sambarnya. Di sampingnya
sang raja yang bertahta sekarang ikut bergabung dengan mereka di alam sadar.
Memperhatikan
sudah menjadi kebiasaannya. Dia hanya tidak mengatakannya jika dia
memperhatikan. Dia lebih suka berdiam diri dan melebur sebagai bayangan, salah
satu dari usaha perbaikan dirinya. Jika pemicu masalahnya adalah sorot cahaya
di tengah panggung, masa sebisa mungkin dia akan berusaha menghindarinya. Dia
juga tidak begitu baik dalam hal mengekspresikan perasaan, karena itu hal
terbaik yang bisa dilakukannya hanyalah diam dan memperhatikan.
Menunggu
sang adik mengatakan alasannya berkunjung tengah malam, dia hanya duduk dan
memmandang adiknya yang berjalan mendekat ke arahnya tanpa bertanya apapun. Dia
tahu bahwa adiknya paham, satu kata darinya sudah melebihi cukup sebagai pemicu
pertanyaan lain tak terucap, terlebih jika kata itu menyebut nama sang adik.
“I
can’t sleep”
Ya,
katakan hal itu padanya. Dibandingkan siapapun, dialah yang paling tahu alasan dibaliknya.
Karena dia selalu mengalaminya, setiap malam, terutama ketika kegelapan mulai
menyebar dalam hatinya, berusaha meruak muncul ke permukaan. Alasan yang selalu
sama.
“Let
me guess, bad dreams”
-end-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar