The Only Human – (Stiles Stilinski)
“So,
they told you it was me?”
Dia
hanya berdiri di sana, di sebelah sahabat baiknya, memandang kosong kearah dua
orang yang berada di depannya. Seorang adalah kenalan yang baru saja mereka
kenal akhir-akhir ini, tapi beberapa kali saling membantu untuk bertahan hidup,
seorang lagi adalah guru bahasa di sekolahnya, yang sedang sibuk meyatakan diri
tidak bersalah. Bayangan ayahnya silih berganti muncul di dalam kepalanya.
Sejak
kecil dia merupakan anak yang ceria, mungkin dikarenakan sifat hiperaktifnya,
ya dia mempunyai penyakit ADHD, sehingga membuatnya susah untuk diam walau
hanya sebentar. Dia selalu bertindak tanpa pikir panjang setelah mendapat ide,
daya tangkap dan analisanya yang cukup baik membantunya membuat keputusan yang
tepat sehingga jarang melakukan kesalahan. Meski terkadang dia juga cukup
ceroboh untuk hal-hal kecil dan tersandung benda-benda di sekitarnya.
Tumbuh
besar di bawah kasih sayang kedua orang tua membuatnya bersyukur jika
membandingkan dengan kehidupan sahabatnya yang hanya bersama orang tua tunggal.
Walaupun hanya 10 tahun, tapi itu sudah cukup baginya untuk bisa memahami dan
menghargai arti keberadaan seseorang. Ibunyalah yang mengajarkan semua itu.
Terlebih dengan cara yang bahkan tidak akan terlupakan sampai kapanpun.
“Mom, died”
Dia
tahu sejak lama jika ibunya sakit, dia juga tahu ayahnya memikirkan sesuatu,
dia hanya tidak tahu apa itu. Belajar dari pengalaman, ada 2 tanggapan yang bisa
di dapatnya dari bertanya, antara mendapatkan jawaban yang sebenarnya atau
bentakan untuk diam. Dari kedua orang tuanya dia selalu mendapatkan respon yang
pertama, tapi dari beberapa yang lain, kebanyakan yang kedualah yang
didapatnya. Terlebih jika dia bertanya pada seseorang yang mempunyai wajah
‘tertentu’.
Ketika
ibunya mulai menginap di rumah sakit, ayahnya sering memasang wajah ‘tertentu’
itu, meski jika dia nekat bertanya ayahnya pasti akan tersenyum dan menjawab
dengan halus. Dia belajar lagi hal lain, antara jawaban yang sebenarnya atau
sebuah kebohongan.
Pendapat
umum mengatakan sekolah adalah tempat untuk belajar segala hal, tapi kedua
orangtunya sering mengatakan, belajar tidak hanya bisa di dapat di sekolah, dia
bias mendapatkannya dimanapun asalkan dia mau melihat, mendengar dan merasakan.
Itulah yang dilakukannya, sebagai anak seorang polisi, dia sering melihat
berbagai macam kenyataan dan ekpresi serta luapan emosi manusia. Di balik
sikapnya yang sering bertanya, dia juga sering berpikir dan mengolah semua apa
yang dia lihat dan jawaban atau tidak ada jawaban yang di dapatnya. Dia belajar
bahwa manusia bisa membuat sebuah ekspresi yang sama sekali bertentangan dengan
apa yang ada di dalam hatinya.
Pelajaran
demi pelajaran di dapatnya seiring bertambahnya usia, setiap hari dia mendapat
satu hal lain, dan tempatnya berada membuatnya lebih bisa memahami apa yang
dinamakan ‘kehidupan’ daripada apa yang bisa dipelajari di sekolah. Sejak usia
6 tahun, dia lebih sering berada di rumah sakit atau di kantor polisi daripada
di rumah dan sekolah. 4 tahun merupakan waktu yang cukup panjang baginya untuk
memahami dan membentuk sebuah karakter. Karena itu saat berusia 10 tahun dan
salah satu orang tuannya meninggalkannya untuk selamanya, dia sudah paham,
bahwa dia harus menjaga apa yang sangat berarti baginya karena suatu saat hal
itu akan hilang dari jangkauan, cepat atau lambat, terduga atau tidak.
“I miss your mom”
Saat
kematian Ibunya, dia belajar bahwa ada hal yang perlu dikatakan dan ada hal
yang lebih baik di simpan demi kedamaian bersama. Dan entah sejak kapan dia
terbiasa untuk memilah hal-hal itu dan memasang sebuah garis batas bagi dirinya
sendiri. Dia juga menyadari ada kalanya seseorang tidak ingin mendengar dan berharap
untuk mendengar hal lain. Belajar bahwa sampai di suatu titik hal lain itu
dapat memberikan sebuah kebaikan daripada kenyataan yang sebenarnya. Maka dia
mulai mempelajarinya, dia mulai mengembangkan sebuah kemampuan lain dalam
dirinya. Kemampuan untuk mengatakan hal yang lain, kemampuan untuk berbohong.
Dan saat sahabatnya mendapat perubahan yang tidak terduga, kemampuan itu
berkembang semakin pesat.
Sejujurnya,
kemampuan ini tidak begitu dia sukai, karena meski dapat membawa senyum di
wajah seseorang namun juga memberi sebuah tekanan dalam hatinya, tekanan yang
bahkan lebih berat dibandingkan dengan kemampuan saat dia mengetahui bahwa
suatu hal lebih baik dibiarkan tenggelam di dasar yang paling dalam.
Pembicaraan
mengenai Ibunya tidak pernah muncul di permukaan, karena dia tahu, bukan hanya
bagi ayahnya, bahkan bagi dirinya sendiri hal itu lebih baik terkunci rapat
dalam kotak harta. Namun berbohong pada ayahnya memunculkan konflik lain dalam
hatinya yang lebih besar daripada hal itu. Berulang kali dia mengatakan pada
dirinya sendiri bahwa berbohong merupakan cara yang terbaik. Bahwa itu
merupakan satu-satunya cara untuk menjaga keselamatan tidak hanya ayahnya tapi
seluruh kota, terutama ayahnya.
Hanya
saja jauh di dasar hatinya dia terus mendengar sebuah suara yang berteriak
bahwa suatu saat kebohongan serapi apapun adalah sebuah kebohongan. Itu berarti
bahwa tidak ajaminan ayahnya akan selamat meski dia tetap diam, terlebih dengan
pekerjaan ayahnya yang jelas-jelas menempatkannya di garis depan bahaya. Suara
itu terus menerus menganggunya, berulang kali dia meredam, setiap kali juga
suara itu kembali terdengar. Secara logika, akan lebih baik jika ayahnya
mengetahui hal yang sebenarnya. Tapi dia tidak berhak mengatakannya, karena hal
itu menyangkut orang lain, termasuk sahabatnya. Dan dia sudah belajar untuk
tidak mengatakan apa yang bukan miliknya.
Beralih
pada pilihan lain, dia berusaha untuk menjadi kuat. Setidaknya jika dia tidak
bisa mengatakan sesuatu dia bisa berbuat sesuatu. Kekuatan fisik jelas bukan
pilihan pertamanya, apalagi jika dibandingkan dengan kenyataan yang selama ini
tidak dia sadari. Dia menetapkan diri pada keahliannya yang lain, menggunakan
otak.
Namun
itupun belum cukup. Berkali-kali dia merasa ketakutan akan kehilangan hal lain
yang berharga. Satu hal sudah diambil darinya, dia tidak akan melepaskan yang
lain, tidak jika dia bisa mencegahnya. Berusaha sekuat mungkin, bertekat untuk
menjadi kuat dia semakin mengubur sisi dirinya yang lain. Sisi yang ceria yang
semakin lama semakin hilang tergantikan oleh pandangan sarkatis pada kehidupan
yang dilihatnya. Dia semakin menyadari bahwa kehidupan itu keras.
“I’m proud and
happy for you”
Dia
tidak pernah menangis, dalam hidupnya, dia tidak pernah sekalipun menangis. Saat
Ibunya pergi. Dia hanya duduk diam di koridor menyandarkan kepalanya pada
kepalan tangan dan menunggu sang ayah datang. Hari hari setelah kematian Ibunya
dimana sang ayah menenggelamkan diri pada pekerjaan dan alcohol setiap malam,
ketika berpikir bahwa dia sudah tidur, yang pada kenyataannya dia berusaha
sekuat mungkin untuk mengatasi penyakit baru yang dideritanya, Panic Attack,
membuatnya lupa untuk menangis.
Ketika
dia merasa putus asa saat Kanima menyerang kantor polisi dan hanya bisa
terbaring di lantai, dia menekan amarahnya dan memfokuskan diri untuk mencoba
bergerak agar setidaknya bisa melihat dan memastikan bahwa ayahnya baik-baik
saja. Di antara keributan dan kecemasan yang memuncak, dia tidak punya waktu
untuk menangis.
Begitu
juga saat sang ayah memeluknya dengan perasaan lega ketika dia menjadi
penyampai pesan dari sang pemburu untuk yang diburu. Sepanjang perjalanan dia
terlalu sibuk memikirkan alasan yang tepat untuk menyamarkan jejaknya sehingga
menangis sama sekali tidak terlintas dipikirannya.
Saat
teman yang dikenalnya sejak kecil terbunuh. Saat sahabatnya, satu-satunya teman
yang dia miliki, saudara yang tidak pernah dia miliki, mencoba meninggalkan
dunia karena merasa bersalah dan putus asa, dia memutar otak, mencari cara
untuk meyakinkan sang sahabat untuk bertahan, membujuk agar sekali lagi mereka
berjuang bersama. Bertekat akan ikut pergi bersama membuatnya sedikitpun tidak
merasakan keinginan untuk menangis.
Dia
sudah belajar bahwa menangis tidak akan menyelesaikan masalah, bahwa menangis
hanya akan membuat orang yang peduli padanya sedih, bahwa menangis hanya akan
membuat ayahnya khawatir. Karena itulah, dia selalu berusaha tersenyum.
“I’m listening!!”
Teriakan
ayahnya kembali terngiang di telinga. Sejak kecil ayahnya tidak pernah
berteriak padanya. Ketika semua orang lelah mendengar pertanyaan yang selalu
dilontarkannya, ayahnya hanya tersenyum dan menjawab dengan sabar. Saat
membangunkannya untuk pergi ke sekolah agar tidak terlambat, melihatnya
berkeliaran di TKP dan mendengarkan radio polisi, ikut campur dalam kasus-kasus
yang di tangani ayahnya, atau sekedar memaksa ayahnya dengan makanan sehat.
Bahkan saat membuat ayahnya kehilangan lencana sheriff-pun, sang ayah tetap tidak
pernah menaikkan nada suaranya.
“You just don’t
believe. Mom will believe me”
Dia
tidak pernah membayangkan bahwa pertengakaran pertama dengan ayahnya adalah hal
terakhir yang dilakukannya sebelum akan kehilangannya. Dia marah pada dirinya
sendiri yang tidak meminta maaf setelah mengucapkan kalimat yang dia tahu
sangat menyakitkan bagi ayahnya. Dia menyesal selama ini hanya diam dan tidak
mengatakan kebenaran pada ayahnya sehingga ayahnya berpikir bahwa apapun yang
ada di belakang kasus adalah hanya seorang pembunuh psikopat yang kejam.
Dia
pernah kehilangan seseorang yang berharga dan dia tidak ingin hal itu terjadi
untuk kedua kalinya. Dia susah payah berjuang saat sang Ibu di ambil dari
sisinya, dengan bantuan dan demi ayahnya dia berhasil melewati semua kesulitan.
Apapun itu dia sanggup bertahan karena dia tahu sang ayah akan selalu berada di
belakangnya, siap menangkapnya jika dia hendak terjatuh. Tapi siapa yang akan
berada di sisinya jika sang ayahpun di ambil darinya.
“Dad?!”
Dunianya
seolah berhenti saat dia menyadari ayahnya menghilang. Baginya ayahnya adalah
segalanya, kunci dari dunianya yang masih berputar saat ini. Kehilangan Ibu
membuatnya mengulang kembali dan berusaha mengingat bagaimana caranya untuk
bernafas. Karena ayahnyalah dia berhasil melakukannya. Jika sang ayah juga
menghilang, dia tidak tahu lagi cara untuk bernafas, tidak akan ada yang
mengajarkannya, tidak ada apapun.
“We
told, you are the one killing people”
Suara
sahabatnya terdengar stabil, perlahan membawa kesadarannya yang sempat hilang
kembali ke waktu saat ini. Dia masih berdiri di sana, di samping sahabatnya,
memandang lurus ke depan. Dan tiba-tiba saja berbagai perasaan menghantamnya
dengan keras. Perasaan yang selama ini ditekannya mengalir keluar secara
bersamaan. Bersalah, takut, marah, putus asa, membuat dadanya terasa sesak dan
akhirnya dia menyerah. Dia menyerah kalah dan membiarkan pertahanan yang
dibangunnya selama bertahun-tahun hancur berantakan. Dan untuk pertama kali
dalam hidupnya, air mengalir turun dari matanya.
“Where’s
my Dad?”
-Fin-