Disclaimer: If they are mine, I'll make Akanishi work hard with solo and KAT-TUN.....
Music: Tipsy Love, Precious One, NEIRO, FARAWAY, Promise Song, You one in the million, I Knew I love You
For the last time, please listen Promise Song.
Yamapi, Ryo, Ueda, Taguchi, Nakamaru dan Koki yang berdiri berjajar dibelakang Akanishi memperhatikan dengan tegang, Yamapi bahkan baru sadar jika dia lupa menarik nafas saat Ryo berbisik pelan di sampingnya.
“Pi” Yamapi mengerjab, menarik nafas untuk mengisi paru-parunya yang sempat kekurangan suplai udara sebelum menoleh ke arah Ryo. Ryo hanya menggerakkan kepalanya sedikit ke arah Akanishi.
Yamapi mengangguk paham sebelum melangkah maju, seseorang harus berusaha untuk menggambil inisiatif sebelum jatuh korban sesak nafas, seperti yang hampir di alaminya. Yamapi menghela nafas, sejak tadi Akanishi hanya membuka tutup mulutnya tanpa ada suara yang keluar, tampaknya tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Kame sudah mengalihkan matanya ke lantai, tidak lagi memandang Akanishi sehingga tidak tahu jika Akanishi berusaha mengajaknya bicara.
“Jin. Sebaiknya kamu berikan sendiri” bisik Yamapi menyelipkan sebuah benda dalam genggaman tangan Akanishi kemudian kembali ke tempatnya semula, di antara Ryo dan Ueda, setelah menepuk bahu Akanishi pelan.
Akanishi menatap benda yang kembali berada di tangannya selama beberapa saat sebelum menggengamnya erat dengan tatapan kosong.
Yamapi menghela nafas putus asa, tadinya dia berharap dengan mengembalikan kunci dan surat yang dititipkan Akanishi bisa menjadi bahan untuk meringankan suasana, tapi tampaknya gagal.
Yamapi mengalihkan perhatiannya, dia sudah tidak tahan dengan situasi ini, matanya bertemu dengan Koki yang menggelengkan kepala, tampak sama putus asanya dengan Yamapi. Di sebelahnya, Ueda, meski wajahnya tidak menunjukkan ekspresi namun kedua tangannya terkepal erat tanda bahwa dia gelisah. Nakamaru mengigit bibir bawahnya dengan tampang cemas. Taguchi menangkupkan kedua tangan di depan mulutnya seperti sedang berdoa sembari memperhatikan.
“Ck. Sudah cium saja, kamu kelamaan Jin” seru Ryo yang membuat semua kepala menoleh ke arahnya terkejut. Kame bahkan mengangkat kepalanya, tidak lagi memperhatikan lantai, Akanishi menoleh, menatap Ryo shock.
“Ryo” desis Yamapi pelan. Ryo hanya tersenyum licik tanpa mempedulikan peringatan Yamapi.
“Klimaksnya tidak akan seru kalau tidak begitu, dimana-mana juga biasanya seperti itukan, sang Romeo pergi setelah mencium dan berjanji akan kembali pada Juliet”
Akanishi membuka mulutnya, bertambah shock dengan kalimat Ryo, sementara wajah Kame mulai memerah. Nakamaru dan Taguchi bertukar pandang binggung, Ueda serta Koki memeperhatikan Ryo dan Akanishi bergantian.
Yamapi tersenyum.
“Ayo cepat, penonton sudah menunggu nih” lanjut Ryo masih dengan nada bosan tak peduli.
“Kamu tidak seru Ryo, seharusnya jangan di bocorkan adegan terakhirnya, kan jadi malas lihatnya” akhirnya Yamapi mengikuti skenario Ryo.
“Kelamaan sih”
“Ya sudahlah, Ayo Jin lakukan saja” Yamapi memandang anggota KAT-TUN, T-TUN lebih spesifiknya, yang menatapnya ngeri sembari mengedipkan mata.
“Ah, jangan dulu. Aku tidak bawa kamera” sahut Koki yang akhirnya paham
“Buat apa kamu mau photo mereka berdua ciuman?” Ueda yang juga sudah paham ikut ambil bagian
“Koki, tidak kusangka kamu punya hobby seperti itu” Nakamaru mundur selangkah, menjauh dari Koki.
“Bukan buatku, tapi Yokoyama” Koki membela diri
“Sejak kapan kamu mau berbaik hati demi orang lain?” kata Ueda lagi
“Lumayan buat tambah-tambah uang bensin”
“Mau kamu jual?” lanjut Ryo “Benar juga, dia kan anggota fans club Akame”
“Taguchi pernah menjualnya” Koki menunjuk Taguchi yang mengacungkan jarinya membentuk tanda peace senang.
“Tidak sengaja sih, tapi katanya dia mau bayar berapapun jadi ya….”
“Photo yang mana?” Nakamaru penasaran
“Itu loh, waktu kita konser BTR, waktu Kame tidur bersandar di bahu Akanishi di bandara, waktu itu tidak sengaja aku memfoto-nya, Yokoyama melihatnya dan bilang ingin punya”
“Heh… Apa aku ikutan saja ya…” guman Pi sebagian sungguh-sungguh. Dia memang punya banyak hal selain photo yang bisa di jual jika mengenai Akame.
“PI!!!!” teriakan Akanishi menyadarkan mereka yang entah sejak kapan malah bersungguh-sungguh membicarakan hal ini dan melupakan tujuan awal yang hanya sebagai pencair suasana.
“Apa?” Yamapi menyeringai ke arah Akanishi
“Jangan berani-berani kamu!!!”
“Eh, apa itu? Jadi benar ya?” sambar Koki semangat “Katakan, Yamapi. Apa saja rahasia si Bakanishi?!”
“KOKI!!!” teriak Akanishi.
“Eh, lihat-lihat” seru Taguchi tiba-tiba “Kame-chan, wajahmu merah loh”
“TAGUCHI!!!!!” teriak Akanishi lagi yang juga sudah menyadari perubahan wajah Kame sejak awal, berdiri memblokir Kame dari pandangan yang lain.
“Aw, Kame-chan” Ueda ikut ambil bagian “Kenapa kamu yang malu?”
“UEDA!!!”
“Apa? Kamu berani denganku?” tantang Ueda pura-pura marah
“Eh? Ti-tidak kok. Kamu boleh mengatakan sesukamu” Akanishi menelan ludah sembari memamerkan senyum nerveous.
“Akanishi keren sekali, memang hanya kamu yang bisa melindungi Kame…”
“SHUT UP!! NAKAMARU!!!!” seru Akanishi membuat Nakamaru meloncat mundur
“Tadi katanya boleh mengatakan apa saja” protes Nakamaru dari balik Taguchi
“Uh-huh, cuma Ueda, bukan kamu!”
“Curang”
“ARGH!! Sudah!!!” seru Kame tiba-tiba membuat mereka kembali sadar.
Akanishi segera berbalik dan menemukan Kame sudah berjongkok di lantai dengan kedua tangan menutup telinga, seluruh wajahnya merah padam.
“Kazu” kata Akanishi lembut sembari ikut berjongkok di depannya.
“Aku, tadinya aku ingin mengatakan sesuatu padamu, tapi aku jadi lupa gara-gara mereka. Padahal tadi di jalan aku sudah menyusun kalimat di kepalaku”
“Kamu pasti berpikir dia imutkan?” terdengar suara Ryo yang diiringi tawa lainnya, Akanishi menoleh dan memberi pandangan peringatan pada teman-temannya yang tentu saja tidak begitu berhasil dan hanya menambah tawa mereka semakin keras. Tahu usahanya sia-sia, Akanishi memilih untuk mengacuhkannya dan lebih memfokuskan diri pada Kame.
“Kazu”
Kame masih tidak bergerak dari posisinya. Akanishi menatapnya untuk beberapa saat, mengamati wajahnya yang masih sedikit merah, bayangan saat pertama kali bertemu dengan Kame dan hari-hari yang mereka lalui bersama muncul berurutan dalam ingatannya. Tanpa sadar sebuah senyum terukir di wajah Akanishi, tangannya bergerak secara otomatis mengacak rambut Kame dengan lembut.
“Jin! Aku bukan anak kecil lagi” seru Kame reflek, kalimat yang selalu diucapkannya jika Akanishi memperlakukannya seperti anak kecil sejak dulu.
Akanishi tertawa melihat Kame yang mengerucutkan bibir dan membelalakkan matanya marah, merajuk manja seperti anak kecil. Sisi yang jarang diperlihatkan Kame pada orang lain, namun Akanishi beruntung karena sudah sering melihatnya. Ya, seperti Akanishi, Kame juga sebenarnya sedikit banyak mempunyai sifat kekanakan.
Akanishi masih tetap tertawa, mengacuhkan tatapan protes Kame, sekali lagi mengulurkan tangan untuk mengacak rambut Kame. Kali ini Kame tidak protes melainkan tersenyum saat menyadari tatapan mata lembut Akanishi padanya, perlahan ikut tertawa bersama Akanishi.
“Ayo” Akanishi berdiri dan mengulurkan tangan ke arah Kame setelah tawa mereka reda. Kame menerima uluran tangan Akanishi yang dengan mudah menariknya berdiri.
“Untukmu” kata Akanishi saat mereka kembali berdiri di hadapan.
Kame memperhatikan benda yang di berikan Akanishi, mengenali kunci yang selama bertahun-tahun dimilikinya, perlahan membuka lipatan kertas.
“Jin” Kame memandang Akanishi yang masih tersenyum memandangnya dengan lembut begitu selesai membaca isi pesan yang tertulis di dalamnya.
“Don’t mad to me, please. I need you Kazu, it’s me who always need you”
Kame menggelengkan kepalanya, kedua matanya mulai basah. Sejak masuk JE, Kame selalu mengikuti Akanishi, selalu membuat Akanishi sebagai panutan, Akanishi-lah alasannya untuk berusaha lebih keras agar suatu hari mereka bisa berdiri sejajar, agar Akanishi tidak meninggalkannya.
Kame selalu merasa Akanishi jauh lebih baik dari dirinya dalam hal apapun, dia berbakat alami, percaya diri, memiliki kemampuan, disukai semua orang, karena itu Kame berpikir, jika dia tidak berusaha menjadi orang yang ‘se-hebat’ Akanishi, suatu saat Akanishi akan meninggalkannya.
Bagi Kame, Akanishi adalah segalanya.
Akanishi-lah orang pertama yang mengulurkan tangan padanya, orang pertama yang membuatnya percaya diri, orang pertama yang selalu mendukungnya, menopangnya, dan melindunginya. Bersama Akanishi membuatnya senang dan merasa aman. Kame bisa menjadi seperti sekarang sebagian karena Akanishi selalu berada di sampingnya, Kame-lah yang membutuhkan Akanishi.
“Kazu” Akanishi menarik Kame yang tidak sadar sudah menangis ke dalam pelukannya, mengusap pelan punggung Kame, berharap bisa meredakan tangis Kame.
“Jin” guman Kame sembari membenamkan wajahnya lebih dalam di pelukan Akanishi. Akanishi memperkuat pelukannya sembari mencium kening Kame berkali-kali, menahan diri agar tidak ikut menangis.
Selama beberapa saat mereka bertahan seperti itu, sampai sebuah suara yang mengumumkan agar semua penumpang pesawat segera bersiap terdengar dari pengeras suara. Memaksa mereka kembali pada kenyataan.
Akanishi yang menyadari bahwa waktunya sudah habis melonggarkan pelukannya, namun Kame menggelengkan kepala, membenamkan kepalanya lebih dalam lagi, bersikeras tidak mau melepaskannya.
“Kazu” bisik Akanishi lembut.
Kame menggelengkan kepala dengan wajah makin terbenam.
“Kazu” ulang Akanishi namun tetap mendapat reaksi yang sama.
Akanishi menghela nafas. Sebenarnya dia juga tidak ingin melepaskan Kame, dia menyukai perasaan yang muncul saat Kame berada dalam pelukannya, mencium aroma tubuh Kame, merasakan kehangatan nafas Kame, kelembutan rambut Kame, juga mendengar suara detak jantung Kame yang kontras dengan miliknya sendiri.
“Kazu. Look at me” Kame masih tetap mengulangi reaksinya “Kazu, please. Look at me” Sekali lagi Kame menggulang gerakan yang sama “Hey, Kazu”
Perlahan Kame menuruti kalimat Akanishi. Memandang wajah Akanishi dangan mata yang masih merah dan basah.
“Jin”
Akanishi menempelkan jari telunjuknya di bibir Kame, tersenyum menggelengkan kepala sebagai tanda agar Kame tidak mengatakan apapun kemudian dengan punggung tangannya mengusap pipi Kame lembut. Menghapus sisa air mata yang masih tersisa.
Ketika mendengar panggilan terakhir dari pengeras suara, Akanishi perlahan melepaskan Kame, masih tetap tersenyum, berusaha menenangkan Kame yang memandangnya ketakutan. Perlahan tapi pasti Akanishi mulai melangkah mundur, membuat jarak semakin lebar dengan Kame yang terpaku di tempat, air mulai turun untuk yang kesekian kalinya dari kedua mata Kame.
“Arigatou” kata Akanishi pelan sembari tetap tersenyum sebelum berbalik dan melangkah meninggalkan Kame.
“Jin. Jin! JIN. JIN!” Kame berseru semakin lama semakin keras “JIIINNN!!!”
Akanishi berhenti sejenak, menghela nafas menahan diri untuk tidak menoleh, karena dia tahu, jika sekali lagi dia melihat Kame, maka dia tidak akan sanggup untuk pergi, kemudian kembali melangkah.
Ueda dan Koki berdiri di kanan dan kiri Kame, berusaha membantu Kame agar bisa tetap berdiri setelah kakinya tiba-tiba kehilangan kekuatan untuk menopang berat badannya. Yamapi, Ryo, Nakamaru dan Taguchi menghampiri dan ikut berdiri di samping kanan dan kiri mereka, memandang punggung Akanishi yang melangkah semakin jauh menuju pintu boarding.
Terisak pelan, berusaha menghapus air mata, Kame menarik nafas sebelum kembali berteriak
“JIINNN!!!!” seru Kame, hanya saja kali ini terdengar lebih kuat, bukan teriakan putus asa seperti sebelumnya.
Akanishi yang menyadari perbedaan nada dalam suara Kame tersenyum dan mengangkat satu tangannya sebatas bahu, melambaikannya kuat-kuat sembari terus berjalan tanpa menoleh.
“(B)Akanishi!!!” seru ke-enam orang lainnya, membuat senyum di wajah Akanishi semakin lebar dan gerakan tangannya semakin kuat.
“We did it” kata Ryo pelan sehingga hanya terdengar oleh Yamapi
Yamapi memandang Ryo sebelum mengangguk dan tersenyum.
“Yiey!” sahutnya sembari mengacungkan ibu jari dan memamerkan gigi.
***
Omake:in LA,
“AKANISHIIIII!!!!!!” Akanishi menjauhkan ponsel dari telinganya saat mendengar suara Koki dan Nakamaru berteriak bersamaan. Dari belakangnya terdengar suara tawa Taguchi dan keluhan samar Ueda.
“What’s Up?”
“What’s Up kepalamu!” seru Koki “Aku baru ingat sesuatu hal yang sangat penting. Lupakan perkataan kami soal kepergian-mu tidak membawa dampak besar”
“Hah?!”
“Ini masalah besar!!!” lanjut Nakamaru panic
“Apanya?”
“Peaceful days”
“Hah?”
“Bagaimana caranya kami menyanyikan Peaceful Days tanpa-mu??!!!”
“Bukannya, bagian-ku di ambil alih…..”
“Bukan masalah siapa yang mengambil alih bagianmu!!” potong Koki
“Lalu apa?”
“Lyrik-nya, Akanishi. LYRIK!!!!” teriak Koki frustasi “K-A-T-T-U-N. Masa iya mau di rubah menjadi Ka-T-T-U-N??!!!”
Akanishi menatap ponselnya campuran antara rasa terkejut, ngeri dan shock. Dia sama sekali lupa ada lyric seperti itu. Well, tidak heran. Bukan hal baru, dia memang sering lupa kalau sudah menyangkut masalah lyric.
“AAHHHH!!!!!! CELAKA!!! Benar juga, aku lupa. Bagaimana ini??!!” seru Akanishi ikut panik yang langsung di sambut erangan Koki dan Nakamaru, sementara suara tawa Taguchi terdengar semakin keras.
Sementara itu, di Jepang.
“Baka” guman Ueda menghela nafas dan memijat-mijat pelipisnya, lelah.
Kame tersenyum.
KAT-TUN tetap saja KAT-TUN
*Owari*